Ruri yang Lalu

12.5K 1.9K 144
                                    

Katanya benak manusia itu seperti gunung es di tengah laut. Yang terlihat hanya ujungnya, sementara yang tersembunyi di bawah laut jauh lebih besar. Itu artinya kuasa alam bawah sadar ini sangatlah besar. Jika benar demikian, apa akhir-akhir ini aku mulai dikendalikan oleh alam bawah sadarku, sehingga aku melakukan hal-hal yang semestinya nggak kulakukan?

Sialan, Eva. Bagaimana bisa aku melakukan hal yang konyol semacam itu? Bagaimana bisa aku malah mencium Benny saat seharusnya dia adalah nomor satu di daftar orang yang nggak boleh kucium? Sekarang, kalau sudah begini, aku harus gimana kalau ketemu Benny? Apa aku bisa menahan rasa malu dan nggak enakku, untuk bisa hidup seperti biasa? Terlebih, apa aku masih bisa menahan perasaanku sendiri?

"Non, masih kerja aja. Hayuk, yang lain udah ready!"

Aku mendongak dari tampilan spreadsheet excel yang sedari tadi kupelototi tanpa hasil. Danu berdiri di samping kubikelku sembari berkacak pinggang. Kemejanya yang berwarna pink cerah terlihat mencolok. Rambut jambulnya pun melambai-lambai penuh semangat.

"Lunch team," tambahnya, mungkin karena aku terlihat nggak paham. "Lo bisa ikut, kan?"

"Oh, iya ya! Bisa. Sori, Mas. Gue lupa."

Kutatap jam tanganku. Lima belas menit lagi sudah masuk waktu makan siang. Sekeliling lantai dua pun sudah kosong. Kemungkinan besar mereka sudah di lobi dan siap berangkat. Nggak mau jadi bahan tungguan, aku buru-buru menyusul.

Seperti dugaanku, kebanyakan tim sudah menunggu di lobi. Masing-masing bergerombol dengan, dan Danu wara-wiri dengan ponsel di tangan. Gerombolan pertama yang kuidentifikasi duduk di sofa lobi. Anggotanya Benny, Petra, Willy, Medina, Ruri. Mereka sedang ngobrol seru.

Ketika aku menuruni tangga, Benny menoleh dan mata kami bertemu. Namun, aku buru-buru memalingkan pandang dan berjalan lebih cepat.

"Va! Sini!" panggil Ruri. "Sini, mobil Aria masih longgar."

Tepat saat itu, sebuah MPV hitam berhenti di depan lobi. Agaknya satu taksi online pesanan Danu sudah datang.

"Gue bareng itu aja, Rur," kataku, sambil mempercepat langkah. Semoga masih ada sisa slot tempat duduk di sana. "Kayaknya masih ada tempat."

"Lho, kenapa?"

Aku meringis sambil mengangkat laptop. "Biar cepet nyampe dan bisa buka laptop lagi."

"Ya Tuhan ...."

Aku cuma tertawa dan nggak lagi mengindahkan Ruri, serta lebih bergegas menghampiri taksi online yang menunggu di depan lobi.

"Eh, Va, lo bareng sini?" tanya Danu ketika aku mendekat. Kujawab dengan anggukan. "Nggak di mobil Aria—"

"Gue sini aja, Mas," potongku, langsung masuk ke baris kedua jok mobil, di sebelah Tiko yang sibuk menelepon.

Danu terlihat hendak bertanya lagi, tapi urung karena taksi online kedua yang dipesan sudah datang. Danu pun mulai berteriak-teriak mengatur rombongan. Dari dalam mobil, kulihat rombongan Benny mulai beranjak menuju parkiran.

Kupejamkan mata. Entah mengapa, belakangan melihat Benny membuat hatiku sakit. Seolah ada tonjokan keras di ulu hati, padahal aku nggak merasakan gejala-gejala asam lambung lainnya.

Sebenarnya, aku bingung gimana harus menghadapi Benny sekarang. Bukan cuma karena canggung, tapi ada rasa sesak di dada. Gabungan antara rasa bersalah dan juga ketakutan yang seperti menyumbat syaraf yang menghubungkan otak dengan bibir. Rasa bersalah karena kebodohan yang kulakukan di rooftop hari Jumat yang lalu, dan aku sadar kalau hal itu memang nggak adil buat Benny. Juga rasa takut karena setiap melihat Benny, aku jadi menginginkan hal-hal yang harusnya nggak boleh kuinginkan.

Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang