Entah siapa yang harus kusalahkan kali ini, saat kami berakhir di sebuah tempat ngopi unik di kawasan Setiabudi.
Dari arah depan, bangunannya menyerupai rumah lawas, perpaduan Belanda dan Joglo Jawa. Bagian dalamnya terbagi menjadi area indoor dan outdoor. Bagian indoor dihiasi lampu kuning yang terkesan hangat. Ada juga coffee bar yang menyambut pengunjung dengan ramah. Bagian outdoor ditata dengan gaya yang sejuk, taman di mana-mana, kolam ikan dengan ikan koi yang gemuk-gemuk, serta para pramusaji yang mengenakan baju lurik Yogyakarta. Tempat itu, seolah menghadirkan Yogyakarta di satu sisi gaul Jakarta.
Di salah satu sudut area outdoor yang berkonsep lesehan, aku memesan kopi hitam siganture kafe dan Benny memesan jus jambu.
Ketika aku mengiakan ajakan Benny untuk ngopi selepas dari gedung teater tadi, sebenarnya itu bukan karena aku ingin mendengarkan apa pun yang akan ia katakan nanti. Aku hanya ... merasa ini salah.
Sebuah kesadaran tercetus begitu saja dalam benakku saat aku menatap mata Benny yang syarat dengan ekspresi memohon. Dia berusaha keras meminta waktu, agar dia bisa menjelaskan apa pun itu kepadaku. Di sini, aku merasa segalanya menjadi melenceng. Pemandangan ini keliru. Sikap Benny keliru, apalagi aku. Memangnya apa yang mau dijelaskan oleh Benny? Memangnya apa yang harus dia jelaskan? Memangnya dia punya kewajiban menjelaskan apa kepadaku?
Kesadaran itu membuatku sedikit malu. Apakah sikapku selama ini nggak berlebihan? Aku membenci Benny karena dia menolak pernyataan cintaku tujuh tahun lalu. Namun, bukankah nggak ada keharusan Benny untuk menerima cintaku? Kenapa sikapku selama ini seperti anak kecil yang ngambek karena keinginannya nggak dituruti bahkan sampai usiaku sudah 28 tahun seperti ini? Mungkin sikap Benny saat itu seperti cowok PHP berengsek yang melukai hatiku, tetapi aku harus tetap menghormati keputusannya, bukan?
Barangkali saat itu Benny memang nggak tertarik padaku seperti aku tertarik padanya. Barangkali saat itu aku memang terlalu percaya diri menerjemahkan semuanya padahal faktanya Benny memang baik dan manis kepada semua orang. Atau—jika ini bisa sedikit menghibur—mungkin Benny tertarik padaku, tetapi ekspektasi kami tentang hubungan berbeda. Apa pun itu, Benny pasti punya alasan untuk nggak menerimaku, dan sebenarnya aku nggak harus tahu juga.
Jadi, sudah seharusnya aku mengakhiri kemarahan kekanak-kanakan ini. Kenangan tujuh tahun lalu seharusnya sudah kuikhlaskan dan kutinggalkan di sudut-sudut Yogyakarta. Apalagi kini kami harus berhubungan dengan profesional. Bukankah akan melelahkan juga kalau aku terus-terusan membebankan kesalahan di pundak Benny, sementara aku sibuk memupuk dendam?
"Serius nggak makan dulu? Itu langsung minum kopi, nggak perih perutnya?" Suara Benny menarikku kembali ke bumi. Di depanku, ia menatapku dengan ekspresi ingin tahu.
Aku menggeleng canggung. Setelah menyadari ketololanku itu, sekarang aku disergap rasa canggung. Aku malu, merasa bersalah, dan aku jadi bingung bagaimana harus bersikap di depannya.
"Kalau gitu makan mendoannya," katanya lagi, menunjuk sepiring tempe mendoan yang masih hangat.
"Iya, gampang lah," jawabku pelan.
Benny membuka maskernya, menaruhnya di atas meja, lalu menyeruput jusnya. Benny meletakkan kedua tangannya di atas meja, lantas ia tertawa kecil.
"Pas udah begini, aku malah bingung harus mulai dari mana," katanya geli. "Mungkin mulai dari gimana senangnya aku bisa ketemu kamu lagi--"
"Enggak," potongku cepat sebelum Benny melantur. "Mungkin mulai dari aku dulu."
Benny nggak menjawab, tetapi lagi-lagi alis tebalnya menungkik.
"Aku barusan dapat ilham, Kak," kataku berusaha lebih santai. "Aku baru sadar kalau sikapku selama ini kekanak-kanakan. Ya aku emang kecewa banget sama kamu, tapi ... plis lah, itu udah tujuh tahun yang lalu. Kalau ini webseries, netizen pasti udah ngata-ngatain aku belum move on. Makanya, masih marah-marah nggak jelas," kekehku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari Lalu
ChickLitPandemi benar-benar mengubah hidup Eva. Berawal dari kantornya yang gulung tikar dan berujung PHK besar-besaran, Eva kini seorang pengangguran dengan beban seorang Ibu yang nggak mau tahu situasi dan kesulitan ekonominya. Setahun lebih Eva menganggu...