Apa Harus Nugie?

16.3K 3.3K 480
                                    

Ternyata sebuah pengetahuan bisa berdampak sangat besar. Mungkin karena itu juga ada banyak yang bilang bahwa mendingan nggak tahu apa-apa. Tanpa pengetahuan, meski mungkin kita nggak tahu ke mana arahnya, kita juga nggak perlu memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja terjadi. Jujur saja, itu cukup menyiksa.

Aku ingat apa yang kukatakan pada Benny saat dia menjelaskan duduk persoalan sembilan tahun lalu.

"Baguslah semua udah terbuka sekarang. Kita bisa tidur nyenyak meski itu nggak mengubah apa-apa."

Saat itu, aku begitu yakin bahwa nggak ada yang berubah. Bahwa apa pun yang Benny bilang, apa pun yang terjadi sembilan tahun lalu, yang lalu sudah berlalu. Aku sudah punya Nugie, dan aku nggak berminat mengadunya dengan Benny. Namun, pembicaraanku dengan Benny pagi itu di mobil ternyata mampu berbuat lebih banyak. Apa yang Benny katakan terus-terusan muncul di pikiranku, membuatku memikirkan hal-hal yang nggak perlu. Membuat banyak pertanyaan berdatangan ke benak, beberapa di antaranya dilengkapi kata seandainya.

Apakah aku benar-benar sudah merelakan cinta monyetku di bangku kuliah itu? Apakah aku sudah benar-benar melupakan Benny? Apakah aku benar-benar nggak lagi mengharapkan apa pun? Lantas, bagaimana perasaanku kepada Nugie? Benarkah aku menginginkan Nugie di hidupku? Kenapa aku nggak semarah yang seharusnya waktu Nugie ketahuan jalan dengan perempuan lain? Alih-alih marah karena cemburu, kenapa aku justru merasa sebal? Lantas ... bagaimana jika nggak dengan Nugie?

Sejak dulu, aku sudah mengesampingkan kata "cinta" saat memikirkan Nugie. Aku tahu, barangkali perasaanku kepadanya jauh dari konsep cinta. Apa yang terjadi pada Papa dan Mama, serta kisah cintaku yang dulu, membuatku terlalu patah hati untuk mencari wujud konsep cinta dalam duniaku. Aku hanya perlu tahu bahwa Nugie pria yang sopan, dewasa, baik hati, dan Papa menginginkan pria itu jadi pendampingku. Dulu aku merasa itu sudah cukup, karena aku nggak berminat mencari alasan lainnya.

Itu dulu.

"Kamu kelihatan jauh lebih baik, Va."

Aku menoleh ke samping, ke arah Nugie yang tengah menyetir.

"Iya, balik ngantor ternyata efeknya luar biasa," jawabku sembari tersenyum. "Di kantor, kan, aku harus berhubungan sama banyak orang."

Seminggu setelah aku kembali ke kantor, aku menerima ajakan Nugie untuk bertemu di akhir pekan. Namun, alih-alih kencan, aku mengajaknya ke tempat Papa.

Thanks to semua teman-temanku dan pekerjaan yang menggunung, sehingga seminggu ini berjalan seperti terapi untukku. Mau nggak mau, suka nggak suka, aku harus melaluinya, dan lama-lama aku jadi terbiasa. Hingga akhirnya, ketika aku bertemu Nugie dan keluar di akhir pekan ini, aku baik-baik saja.

"Syukurlah. Aku ikut senang. Sedih aku waktu kita ketemu itu, kamu kayak ketakutan sama aku."

Aku menelan ludah. "Maaf ya, Mas. Itu semacam refleks gitu."

"Iya, aku paham. Kalau sekarang ..." Nugie mengulurkan tangan kirinya. "... kamu bisa pegang tangan aku?"

Aku menatap tangan Nugie yang terulur selama sepersekian detik. Lantas, aku mengulurkan tangan dan balas menyentuhnya.

"Ah, senangnya!" ujar Nugie dengan nada gembira dan senyum ceria. Lembut, dia menggenggam tanganku dan meremasnya pelan. "Welcome back, Eva."

Aku membalasnya dengan senyuman dan hati yang kalut.

Aku berusaha mencari-carinya. Getaran-getaran lembut dari tangan yang saling menggenggam. Kehangatan yang menular dari kulit yang saling bersentuhan. Degup jantung yang menandak-nandak dan membuat pusaran kupu-kupu di perut. Gelenyar kenyamanan karena kebersamaan dengan orang yang spesial. Keinginan untuk bersentuhan lebih lama. Di mana itu semua? Kenapa aku justru nggak merasakan apa-apa? Hanya kekosongan yang muncul dalam benak. Seperti scene film tanpa backsound. Hanya gambaran visual yang nggak memberikan efek apa-apa.

Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang