Angkringan Kali Code

24.3K 4.6K 576
                                    

[Yogyakarta 2012]

Sejujurnya, Angkringan Kali Code memang nggak pernah gagal. Dari sekian banyak angkringan, aku paling suka angkringan di pinggir sungai yang membelah kota Yogyakarta itu. Suasananya nggak terlalu ramai, juga suguhan lampu-lampu gemerlap Jogja di malam hari, gemericik air sungai yang terdengar samar-samar, rasanya hangat dan ayem.

Tetap saja, itu nggak membuatku sering bela-belain datang ke sini. Jarak rumahku di Jakal dan Kotabaru memang cukup jauh. Kalau bukan karena anak-anak Marcopolo mengajak rapat di sini, aku juga nggak bakal datang ke sini. Masalahnya, aku baru saja gabung dengan komunitas teater lintas kampus itu. Nggak enak 'kan kalau belum-belum sudah madol dari acara internal organisasi?

"Va, mau makan apa, Va? Biar tak pesenin," tawar Mas Udjo, seniorku di kampus, sekaligus orang yang juga mengajakku gabung ke Marcopolo. "Kopi joss yo?"

"Yo, Mas," jawabku. "Gulone ra sah akeh-akeh, Mas." (Gulanya nggak usah banyak-banyak, Mas.)

"Oke. Roti bakar sekalian mau?"

"Iya boleh," aku mengangguk. Kebetulan aku juga belum makan. Jadwal kuliah hari ini padat sampai pukul 5 sore tadi. Setelah itu, aku ada kumpulan sebentar dengan HMJ, dan habis magrib Mas Udjo menyeretku ke sini. "Eh, Mas!" tahanku saat Mas Udjo mulai beranjak menghampiri penjual angkringan. "Roti bakare ra sah nggo susu." (Roti bakarnya nggak usah pake susu.)

"Lha ngopo kok ora nggo susu?" tanya Mas Udjo.

"Aku ndak doyan susu."

"Weladalaah ... kok samaan kayak Benny. Woy! Aria Benaya!" Tiba-tiba Mas Udjo berteriak memanggil seorang cowok berambut gondrong dikuncir yang sejak tadi asyik ngobrol dengan cowok berambut cepak, yang kukenal sebagai Mas Irsyad, ketua teater Marcopolo.

"Opo, Djo?" tanya si cowok gondrong dengan bahasa jawa berlogat Jakarta yang wagu*.

"Ini lho, aku nemu bolo-mu. Wes kalian bikin club ae. Anggotane kamu sama Eva. Sama-sama ndak doyan susu. Kasihan itu yang punya Banyumilk kehilangan target market karena orang-orang ndak doyan susu kayak kalian."

Aku menyipitkan mata. Cowok gondrong yang dipanggil Benny atau Aria Benaya itu juga melakukan hal yang sama. Apa-apaan nih Mas Udjo?

"Udjo, kenapa lo? Habis lodse* neng Warung Ijo, ya?" tanya Benny. "Patah hati kok nggak kelar-kelar?"

"Bajigur!" maki Udjo sembari berlalu ke tenda penjual angkringan, sementara kami mentertawakannya.

Di kalangan anak kampus, warung ijo sudah tak asing lagi. Aku memang belum pernah ke sana, tetapi aku tahu warung ijo di Jakal, nggak jauh dari basecamp Marcopolo, adalah salah satu tempat minum-minum yang merakyat di kalangan mahasiswa.

Tawaku terhenti saat menyadari cowok bernama Benny itu menatapku. Sedikit salah tingkah, aku tersenyum dan mengangguk padanya. Sebagai anak baru, aku harus pandai-pandai mengakrabkan diri, kan?

"Baru gabung?" tanyanya. "Adik tingkatnya Udjo?"

Aku mengangguk. "Iya, Kak," jawabku. Nadanya yang superwagu saat berbahasa Jawa membuatku merasa harus memanggilnya 'kak', bukan 'mas' seperti yang lain.

"FBS juga berarti? Jurusan apa?"

"Sastra Inggris, Kak. Angkatan 2012."

Cowok itu lantas mengulurkan tangan. "Benny," katanya.

Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang