Yang Hilang

9.5K 1.7K 123
                                    

Benny marah. Atau harus kutegaskan, benar-benar marah.

"Ar, coba lo diskusiin sama Eva materi dari Coffee Break yang kemarin kita bahas," pinta Petra di akhir rapat rutin mingguan. "Siapa tahu ada beberapa poin yang bisa kita aplikasikan buat VIP Room."

Mendengar namaku disebut, sontak aku mendongak dan memandang Benny yang fokus menatap laptopnya.

"Oke," jawab Benny pendek, tanpa repot-repot menatapku.

Rapat mingguan yang dihadiri oleh seluruh lead divisi resmi berakhir. Sebagian buru-buru keluar ruangan untuk mengerjakan task yang tertunda. Petra adalah orang terakhir yang keluar selain aku dan Benny. Karena instruksi terakhir Petra tadi, aku tetap duduk di tempatku, menunggu Benny membahas apa pun itu denganku—atau kusangka akan demikian.

Namun, setelah beberapa menit kutunggu, Benny menutup laptopnya dan berdiri.

"Materinya udah kukirim. Baca aja dulu," katanya, lalu tanpa menjelaskan apa pun, dia berjalan keluar dari ruangan, meninggalkanku yang cengo sendirian.

Yah ... seharusnya aku nggak perlu kaget lagi. Ini bukan pertama kalinya Benny mengabaikanku sepenuhnya.

Aku akan menyebutnya sebagai Benny baru. Sejak pembicaraan di rooftop waktu itu, Benny yang kukenal seolah diganti begitu saja oleh Benny yang baru. Dia jelas-jelas menjaga jarak dariku. Jangankan mendekatiku dan mengajakku ngobrol soal topik-topik random seperti yang biasa dia lakukan, kecuali soal pekerjaan, Benny nggak pernah bicara denganku. Jika aku menghubunginya soal pekerjaan, Benny akan tetap profesional dan helpful seperti biasa, tapi di luar itu nyaris nggak ada interaksi, terutama di luar konteks.

Kalau kami kebetulan papasan di lobi, pantri, atau koridor toilet, dia hanya akan berkata "hai" pendek dan berlalu—kecuali ada urusan pekerjaan yang tiba-tiba ingin dia tanyakan. Benny yang baru adalah Aria Benaya, Bussiness Manager WeTimes, yang semata-mata atasanku, tanpa embel-embel apa pun.

Pernah suatu kali, Benny mengirimkan chat pukul delapan malam. Aku terburu-buru membukanya, karena penasaran apa yang ingin Benny obrolkan. Nyatanya, chat itu hanya soal pekerjaaan. Benny bertanya tentang tampilan rekomendasi artikel di halaman-halaman konten WeTimes VIP Room. Nggak ingin mengecewakan, aku menjelaskan panjang lebar, yang mungkin bisa dijadikan satu slide presentasi sendiri, dilengkapi berbagai analisa serta ide-ide brilian untuk mengoptimalkan fitur rekomendasi. Dengan penjelasan panjang lebarku, agak menyakitkan ketika Benny hanya membalas "ok". Aku menunggu sampai beberapa menit, berharap ada pesan lanjutan, ternyata nihil.

Aku tertawa kecil, menatap ruang percakapan kami yang masih sama. Di saat yang sama air mataku juga menitik. Aku jengkel karena aku menjadi begitu cengeng, tapi situasi ini benar-benar menyakitkan. Aku tahu Benny punya banyak alasan untuk membenciku, tapi tetap saja rasanya sesak mendapatkan respons sedingin ini darinya. Apa sekarang Benny benar-benar benci padaku? Apa kesalahanku benar-benar nggak termaafkan?

Yah ... apa lagi yang kamu harapkan, Ev? Memang bodoh kalau aku masih berharap dia akan tetap sama setelah apa yang sudah kulakukan kepadanya.

***

Hujan deras mengguyur kota seharian. Sejak sore, orang-orang mulai resah tentang kemungkinan sulit pulang hari ini.

"Feeling gue udah jelek dari tadi pagi. Untung gue bawa ini," kata Dita, sembari mengeluarkan pelindung sepatu dari tasnya—semacam sarung sepatu berwarna putih bening yang terbuat dari silikon. "Sumpah ini penemuan genius abad ini. Kan gini jadi enak kalau mau lari-larian ngejar kereta. Nggak takut sepatu basah kena genangan lagi."

Sementara yang lain resah, aku tenang-tenang saja. Masalahnya masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan minggu ini. Sembari menunggu hujan reda, aku bisa mencicilnya supaya beban kerja esok hari bisa berkurang. Jadi, kupasang headphone di telinga dan kuputar musik-musik favoritku, mengabaikan suara gemuruh hujan di luar sana.

Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang