Mas Nugie:
Va, kamu dimana?Kututup chatroom di aplikasi WA dari Nugie dengan helaan napas panjang. Kenapa dia baru bertanya aku ada di mana? Kenapa dia nggak menahanku saat bertemu di restoran tadi?
Bunyi notifikasi lagi-lagi muncul.
Mas Nugie:
Va aku bisa jelasin.Lagi-lagi kututup jendela chat itu tanpa membalas. Aku tahu Nugie pasti melihat status online-ku. Mungkin juga chat-nya yang sudah centang dua biru. Namun, apa peduliku? Justru bagus bila dia tahu aku sengaja nggak balas chat-nya. Kenapa juga aku harus membalas chat-nya?
"Wah, Va, kuat juga lo minum kopi hitam nggak pake gula gitu."
Aku mendongak. Rajesh--Head of IT WeTimes--menunjuk plastic glass Americano Iced milikku yang berembun.
"Gimana lagi. Biar kuat begadang sampai ntar malam," jawabku asal, sembari menyeruput kopi pesananku dan untuk yang kesekian kalinya menoleh ke pintu kafe. "Kalau dikasih gula, kurang nendang."
Sebenarnya aku nggak ingin berlama-lama di mal ini, karena aku takut Nugie nekat mencariku dan menemukanku di sini. Aku nggak tahu apa yang mungkin dia lakukan karena ... kurasa aku juga nggak tahu banyak tentangnya. Namun, aku benar-benar nggak ingin bertemu dengannya saat ini. Nanti, aku tahu kami harus membahasnya, tetapi nggak sekarang. Nggak di depan orang-orang kantorku. Nggak di depan Benny. Sayangnya, aku nggak enak untuk mengajak yang lain buru-buru balik ke kantor, saat kelihatannya mereka masih ingin bersantai sebelum kembali bekerja.
"Oh maksudnya pas minum seteguk pahitnya kayak hidup gitu, ya?" Mas Danu menyambar.
"Yoi. Jadi seketika melek nggak tuh mata?" balasku.
Rajesh tergelak. "Tapi ya kali bisa sampe ntar malem efeknya, Va?"
Ponselku berbunyi. Dari Nugie. Kini dia mulai menelepon. Buru-buru aku membalik layarnya di atas meja sembari meringis.
"Bisa, dong," jawabku, berusaha tetap ceria, meski kondisi ini lumayan mencekam. "Kan minumnya diirit-irit. Cukup dua teguk per jam. Biar hemat, Beb."
"Wanjiir, ada takarannya segala. Boleh juga itu lifehacks-nya diterapin pas tanggal tua."
Aku tertawa. "Nanti gue bagi lifehacks lain ya, Mas. Gue punya banyak tips dan trik hidup irit biar cepat kaya nih."
"Wah, menarik tuh. Beneran kaya enggak?"
"Enggak," jawabku langsung.
Orang-orang di meja itu sontak tertawa. Aku juga ikut tertawa. Hingga kemudian Benny yang duduk di sebelah Mas Danu berdeham.
"Balik yuk, Guys," ajaknya.
Aku dengan semangat mengangguk. Sayangnya, yang lain malah melihat jam tangan.
"Masih ada 40 menit nih, Ar, tanggung sih," tawar Ruri. "Masih males nih ngadep komputer lagi. Pening kepala gue ngitung duit mulu."
Benny berdecak. "Sekarang aja deh. Gue ada kerjaan. Itu 40 menit udah pas kali. Jam segini kan macet."
Meski kecewa, akhirnya mereka mau balik ke kantor juga.
"Bentar gue ke toilet dulu, daripada kebelet di jalan." Ruri berjalan cepat. Disusul oleh Silvie berteriak, "Ikut, Rur!"
Agaknya perjalanan 40 menit lumayan bikin keder. Rajesh juga pamit ke toilet dulu. Lalu, nggak lama kemudian Mas Danu menjauh dari meja untuk menerima telepon.
Hatiku mencelus. Sekarang yang tersisa di meja ini hanya aku, Benny, dan Ihsan yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya. Mendadak mood-ku berantakan. Aku yakin Benny akan segera bertanya tentang kejadian di restoran sabu-sabu tadi. Aku yakin, Benny akan mengkritik pilihan pacarku. Atau menatapku dengan pandangan mengasihani karena aku diselingkuhi pacarku. Yang mana pun, aku benci bahkan sekadar membayangkannya saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari Lalu
ChickLitPandemi benar-benar mengubah hidup Eva. Berawal dari kantornya yang gulung tikar dan berujung PHK besar-besaran, Eva kini seorang pengangguran dengan beban seorang Ibu yang nggak mau tahu situasi dan kesulitan ekonominya. Setahun lebih Eva menganggu...