[Yogyakarta 2012]
Setahun dua kali, Marcopolo mengadakan pementasan. Satu pementasan sederhana, biasanya di gedung seni kecil dengan kapasitas penonton lebih sedikit, durasi lebih pendek, dan skrip yang lebih sederhana. Mereka menyebutnya Pentas Tengahan. Satu lagi pementasan besar, di gedung yang kapasitas penontonnya lebih besar, durasi lebih panjang, dan tentunya dengan cerita yang lebih kompleks. Mereka menyebutnya dengan Pentas Akhiran.
Untuk Pentas Tengahan yang akan digelar sekitar pertengahan Februari nanti, aku berhasil mendapatkan peran utama. Bukan tanpa usaha lho, karena aku harus mengikuti casting sebanyak 2 tahap, termasuk casting di depan pendiri Marcopolo, sampai akhirnya aku bisa mematahkan kata-kaya Benny waktu itu: aktingku jelek.
Sayangnya, mau terlalu bangga juga nggak bisa. Soalnya, Benny juga mendapatkan peran pertama di pementasan kali ini. Alhasil, saat pengumuman pemain dibacakan, dia menatapku sembari cengengesan.
"Suatu kehormatan bisa beradu peran dengan aktris terbaik kampus sebelah," katanya dengan seringai menggoda, yang kubalas dengan tabokan gulungan skrip.
Pementasan kali ini menceritakan tentang perebutan kekuasaan di antara para gelandangan. Aku adalah pemimpin kubu South Bridge menguasai daerah kolong jembatan sebelah selatan, sedang Benny menjadi pemimpin kubu North Bridge yang berkuasa di kolong jembatan sebelah utara. Tak ubahnya dunia politik, perebutan pemimpin nomor 1 di kalangan gelandangan ini juga penuh intrik dan janji-janji kampanye untuk memenangkan Pemmilu Jembatan.
Karena latihan teater adalah proses yang panjang, kami sudah rutin berlatih sejak seminggu yang lalu. Jangan dikira persiapan teater itu simpel dan mulus-mulus saja. Sebelum ke latihan adegan, banyak tahap yang harus kami lalui. Mulai dari latihan fisik hingga olah vokal. Karena teater nggak cuma butuh akting yang mumpuni, melainkan juga vokal yang kuat agar suara kita bisa terdengar sampai bangku penonton paling belakang.
Seminggu ini, kami masih berkutat dengan olah fisik dan olah vokal. Latihan fisiknya sudah mirip-mirip mau masuk akpol. Aku bahkan harus mencoba berlari sembari membawa setumpuk kardus besar. Karena di skrip nanti ada adegan kami harus kabur dari kejaran satpol PP sembari membawa harta benda: kardus-kardus untuk alas tidur. Kan nggak lucu kalau pas tampil malah pingsan atau jatuh karena nggak kuat ngangkat kardusnya.
"Ev, itu rambutmu nggak diiket aja? Kamu nggak gerah apa?"
Aku yang tengah joging sembari membawa setumpuk kardus-kardus menoleh. Benny menunjuk rambutku yang memang terurai, megar, membuatku semakin kegerahan.
"Ikat rambutku putus tadi," jawabku. "Aku nggak bawa serep."
Benny ber-oh pendek, lalu ia pamit keluar. Aku mengedikkan bahu dan melanjutkan latihanku. Nggak sampai sepuluh menit kemudian, dia masuk lagi dan kali ini membawa serenceng ikat rambut yang masih diplastik yang dia berikan kepadaku.
"Bisa nggak?" tanyanya.
"Euumm ...." Kedua tanganku sibuk menahan tumpukan kardus agar nggak jatuh.
"Mau dibantuin?" tawar Benny, mengeluarkan ikat rambut itu dari bungkusnya.
"Euum ...."
"Ngadep sana," kata Benny. Aku menuruti instruksinya. Setelah itu, Benny mulai merapikan rambutku dan mengikatnya jadi cepolan tinggi. "Maaf deh kalau hasilnya nggak oke. Belum kursus salon, Say."
Aku tergelak. "Ndang kursus lah, ntar aku jadi langganan." (Buruan)
"Woi! Benny! Latihan yo latihan ae, ra sah karo mbribik!" Terdengar teriakan Mas Udjo dari sudut halaman basecamp. (Latihan ya latihan aja, nggak usah sambil modus!)
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari Lalu
ChickLitPandemi benar-benar mengubah hidup Eva. Berawal dari kantornya yang gulung tikar dan berujung PHK besar-besaran, Eva kini seorang pengangguran dengan beban seorang Ibu yang nggak mau tahu situasi dan kesulitan ekonominya. Setahun lebih Eva menganggu...