Kesadaranku belum seratus persen untuk benar-benar memahami apa yang terjadi. Setelah melihat Om Tedy berdarah-darah, Benny membantuku berdiri dan berjalan tertatih-tatih. Tubuhku setengah melayang. Pemahamanku hanya sepenggal-sepenggal. Sesaat aku masih terseok-seok berjalan keluar kamar, sesaat kemudian aku sudah berada di mobil Benny, dengan balutan selimut tebal yang sepertinya diambil dari kamar. Kurasa Benny mengatakan sesuatu beberapa kali, tetapi aku nggak bisa memahami kata-katanya dengan benar.
Dalam rentang waktu yang tak bisa kuemengerti, tiba-tiba saja aku sudah berada di depan sebuah rumah dengan pintu ganda berwarna kayu. Rumah siapa? Benakku bertanya-tanya. Namun, Benny membuka pintu tanpa mengetuk. Ia kembali mengatakan sesuatu, tetapi aku masih nggak bisa menangkap kata-katanya. Lantas, aku melihat seorang perempuan setengah baya menghampiri kami.
"Aria!" Suaranya terdengar lembut, cemas, dan kaget sekaligus. "Apa—"
Benny dan perempuan itu bercakap cepat yang nada-nadanya terdengar rendah di telingaku. Nggak lama kemudian, perempuan paruh baya itu meraihku dalam pelukannya. Awalnya aku berjengit, tetapi kemudian aku termangu. Pelukan ini terasa hangat hingga membuatku sedih. Hingga akhirnya aku hanya bisa menangis dan terus menangis. Aku lupa kapan terakhir kali merasakan kehangatan seperti ini, rasanya hal-hal baik terjadi berabad-abad lalu. Karena menoleh ke belakang, yang kuingat hanya kengerian.
"Nangis aja nggak apa-apa, Sayang. Nggak apa-apa ... Ya Tuhan, kamu pasti takut sekali, Nak ...."
Aku mengangguk dengan napas tersengal-sengal. Aku nggak tahu bagaimana, tetapi aku merasa aman dan nyaman dalam pelukan perempuan ini. Aku merasa tenang, dan aku nggak lagi sendirian. Seolah-olah, segala hal akan baik-baik saja mulai dari sekarang.
Setelah pelukan dan tangisan yang berlangsung entah berapa lama, kesadaranku mulai utuh. Pelan-pelan, aku mulai mengenali sekelilingku. Benny, duduk agak jauh di sisi kananku, di ujung sofa. Matanya terlihat merah dan ekspresi gusar masih terpancar kuat. Di sofa lainnya, di sebelahku, perempuan sepuh dengan rambut putih digelung itu menatapku dengan sorot hangat. Aku nggak yakin, karena sosok yang kuingat jauh lebih muda, tetapi kurasa perempuan ini adalah Bude yang merawat Benny.
Otakku mulai menyatukan kepingan-kepingan informasi. Bayangan tentang Om Teddy yang terkapar di lantai ... Benny yang menatapku dengan khawatir, dan rumah ini ... aku ada di rumah Benny? Dengan segera pemahamanku mulai muncul. Lagi-lagi pertolongan Tuhan datang di saat yang tepat. Benny pastilah menyelamatkanku dari bajingan itu dan membawaku ke rumah ini.
Kuusap sisa air mataku dengan ujung selimut yang masih membungkus tubuhku. Saat itu, aku menyadari bahwa piama biru yang kukenakan benar-benar berantakan. Tiga kancing atasannya lepas, dan bawahannya hilang, menyisakan celana dalam yang membuat jantungku serasa digebuk. Rasanya ada yang retak dalam diriku, dan kini retakannya menyebar menjadi kawah yang kelam. Kutarik selimut itu erat-erat, dan air mataku kembali merebak. Aku ingin menenggelamkan seluruh tubuhku dalam selimut ini selama-lamanya.
Remasan di pundakku membuatku tersentak. Terkejut, refleks aku menampiknya dengan kasar dan berjengit ketakutan. Namun, seketika aku merasa bersalah saat menyadari bahwa Bude Benny-lah yang menyentuh pundakku.
"Maaf ...." bisikku lelah dengan segala hal, termasuk diriku sendiri.
"Nggak apa-apa, Nak," jawab Bude Benny lembut. "Bude mengerti. Apa yang kamu alami sangat berat dan mengerikan, tapi Bude yakin Eva kuat. Ya, Nak?"
Aku nggak menjawab. Kemudian Bude Benny memperkenalkan dirinya sebagai Bude Mara, dan beliau membawaku ke sebuah kamar yang terletak agak jauh di dalam rumah.
"Eva istirahat dulu di sini. Ada kamar mandi di dalam. Bude siapkan baju ganti, ya."
Aku mengangguk. Namun, Bude Mara nggak segera meninggalkanku. Sekali lagi, beliau malah meraihku dalam pelukan yang hangat dan menenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari Lalu
ChickLitPandemi benar-benar mengubah hidup Eva. Berawal dari kantornya yang gulung tikar dan berujung PHK besar-besaran, Eva kini seorang pengangguran dengan beban seorang Ibu yang nggak mau tahu situasi dan kesulitan ekonominya. Setahun lebih Eva menganggu...