*trigger warning - bab ini mengandung adegan kekerasan seksual yang mungkin tidak nyaman dibaca*
Aku nggak terlalu ingat kapan terakhir kali merasakan takut. Mungkin saat pertama kali menyaksikan pertengkaran Papa dan Mama. Barang-barang di meja beterbangan, pecahan piring dan gelas berserakan di lantai, sementara backsound-nya adalah teriakan Mama dan Papa yang berlomba-lomba melontarkan makian. Keputusan akhir yang berujung pada perpisahan mereka pun nggak membuatku takut. Sebab pada saat itu, aku sudah merasa "bodo amat". Terserah apa yang terjadi dan apa yang kualami, aku nggak peduli.
Hari ini, ketakutan yang mencengkeram tengkuk itu muncul lagi. Aku gemetaran, yang jelas bukan karena hawa dingin dan hujan di luar. Aku berharap bisa mengerutkan tubuhku atau menghilang. Mataku menatap lekat pintu angkot yang tertutup rapat, berusaha mengumpulkan sisa nyali untuk memikirkan strategi. Jika aku merangsek ke sana, aku bisa membukanya dengan cepat dan melompat keluar. Angkot ini melaju kencang, tetapi hal itu lebih baik daripada tetap di sini dan menanti entah apa yang mungkin terjadi.
Seolah bisa menebak apa yang kupikirkan, pria yang tadinya kukira penumpang pindah duduk di depan pintu, menghadap ke belakang, sekaligus menghalangi aksesku ke pintu karena aku duduk tepat di belakang sopir.
"Sabar dululah, Om." Kudengar suara si sopir berkata-kata, tepat saat pria di depan pintu menyentuh lututku.
Aku terkesiap, sontak bergeser ke bagian belakang angkot, yang kusadari mungkin saja justru membuat posisiku semakin rentan.
"Tunggu sampai aman dikit."
Pria di depan pintu tertawa. "Cantik kali, Om. Nggak tahan."
Wajahku semakin pias. Otakku terasa nge-blank, nggak lagi mampu memikirkan satu pun jalan keluar. Berteriak pun tak ada gunanya, karena tak ada yang akan mendengar. Aku menoleh ke belakang, berharap bisa minta tolong dengan pengendara di belakang angkot. Namun, kusadari kemudian bahwa kaca bagian belakang angkot ditutup stiker gelap yang membuat kaca itu nggak lagi tembus pandang.
Air mataku sudah meleleh sejak tadi. Percuma aku bisa mengingat saran orang-orang untuk bersikap berani agar orang-orang jahat itu segan. Faktanya, aku memang ketakutan. Kudekap tasku erat-erat di depan dada, dan bibirku hanya bisa menggumamkan kata "tolong" berulang-ulang, meski tak jelas kepada siapa kata-kata itu kutujukan.
Tepat saat keputusasaan dan rasa takutku membumbung tinggi hingga aku nggak bisa merasakan apa-apa lagi, samar-samar kurasa ada suara keras. Angkot oleng sedikit. Lantas suara itu terus menerus datang, seolah ada orang yang memukuli angkot ini dari luar. Pria di belakang menatap nyalang ke luar melalui kaca pintu, sedangkan pria yang di belakang kemudi mengumpat dan kemudian menghentikan angkot. Ketika pintu dibuka, tangan-tangan menarik paksa pria itu keluar dari angkot. Hal yang sama terjadi pada sopir dari pintu depan. Saat otakku masih berusaha mencerna apa yang terjadi, sosok berjaket kulit hitam masuk ke dalam angkot.
"Ruri ...."
"Eva!" berjongkok di depanku yang duduk mengkeret di sudut angkot. Matanya yang terlihat cemas memindai cepat tubuhku, seolah mencari-cari luka di sekujur tubuhku. "Lo nggak apa-apa? Nggak kenapa-kenapa, kan?"
Masih gemetar, aku mengangguk cepat.
"Ya Tuhan ...." Perempuan itu menarikku dalam pelukan erat. Aku bisa merasakan kekhawatirannya yang lekat. "Gue panik banget. Syukurlah kalau lo nggak kenapa-kenapa. Syukurlah ...."
Aku mengangguk lagi.
"Lo bisa jalan?" tanya Ruri setelah melepas pelukan. "Ayo, kita keluar dari sini."
Aku mengangguk dan tanpa kata mengikuti Ruri keluar dari angkot. Ada keramaian kecil di sekitar angkot. Aku melihat Pak Darto, satpam kantor, di antara orang-orang yang tengah menghajar supir dan pria yang sempat menyentuhku di belakang. Saat itulah, otakku berhasil memahami keseluruhan cerita. Aku baru saja terselamatkan dari kejadian yang mungkin akan amat sangat buruk. Bantuan Ruri dan mereka semua datang tepat waktu. Tangisku pecah berderai, hasil dari ketakutan dan kelegaan yang luar biasa. Ruri menarikku dalam pelukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari Lalu
ChickLitPandemi benar-benar mengubah hidup Eva. Berawal dari kantornya yang gulung tikar dan berujung PHK besar-besaran, Eva kini seorang pengangguran dengan beban seorang Ibu yang nggak mau tahu situasi dan kesulitan ekonominya. Setahun lebih Eva menganggu...