Mengapa Mama

21K 4.3K 481
                                    

Bersama Nugie, aku menjadi seperti seniman yang menikmati keheningan. Kadang-kadang, dibandingkan obrolan yang kurang nyambung atau kebingungan memilih topik menarik untuk dibicarakan, aku justru lebih senang memilih-milih lagu untuk diputatr. Untung saja, Nugie nggak keberatan aku menguasai music player mobilnya, meski dia pernah mengaku bahwa dia lebih menyukai musik-musik klasik yang lembut.

Bersama Benny, kebalikannya, aku nggak terlalu memikirkan musik apa yang terputar, karena kami sibuk bicara tentang banyak hal. Rambu-rambu lalu lintas yang ambigu pun bisa kami diskusikan atau tertawakan. Bahkan, aku baru sadar bahwa Benny memutar lagu-lagu metal yang biasanya membuatku sakit kepala.

Saat aku sadar akan hal ini, aku hanya bisa berharap bahwa keputusanku untuk bersikap ramah kepada Benny, bahkan mengizinkannya mengantarku pulang, nggak akan menciptakan masalah lain di kemudian hari.

"Kak Benny masih komunikasi sama anak-anak Marcopolo?" tanyaku.

"Lumayan. Dua bulan lalu Udjo ke Jakarta. Kami sempat ngopi bareng."

"Yang lain?"

"Yang di Jakarta sini ada Duta sama Maurice, tapi malah jarang kontakan sama mereka. Terakhir sebelum pandemi. Uthe juga masih sering kontakan. Sekarang dia di Bandung. Udah nikah, anaknya udah dua."

Aku manggut-manggut. "Nanti boleh minta nomornya Mas Udjo? Kangen juga aku sama mas-mas bawel satu itu."

Tanpa mengalihkan pandangan, Benny mengangguk. Lantas dia meraih ponselnya di dasbor, dan mengulurkannya padaku.

"Nih, kamu cari sendiri aja. Password-nya 20092013."

Sesaat aku tertegun menatap ponsel pintar buatan buatan Amerika itu. Namun, karena takut konsentrasi Benny jadi terganggu, aku buru-buru menerimanya. Alih-alih mencari kontak Udjo seperti katanya, kukembalikan ponsel itu ke dasbor. Kurasa kami nggak sedekat itu sampai aku bisa dengan leluasa mengutak-atik ponselnya. Lagian bisa-bisanya dia semudah itu memberikan password ponselnya kepadaku? Nggak mungkin terlalu polos. Malahan kurasa Benny ini terlalu percaya diri.

"Nanti aja Kak Benny yang cariin," kataku.

Benny sempat menoleh heran, tetapi dia hanya berkata "oke" lalu kembali fokus ke depan.

"Nanti perempatan habis Indomaret ke kiri ya, Kak," kataku, menunjukkan jalan menuju kontrakanku.

Benny mengangguk. "Jadi, habis orangtua kamu cerai, kamu tinggal sama papa kamu?"

Aku menggeleng. "Aku ikut Mama. Tadi kan udah bilang."

"Kok bisa?" Nada suara Benny terdengar begitu heran.

"Kenapa nggak bisa?" Aku balas bertanya.

"Aneh aja sih. Karena seingatku ... bukannya kamu lebih dekat sama papa kamu, ya?"

Aku menoleh sebentar, lalu buru-buru menatap ke arah depan. Untuk seseorang yang mengenalku dengan baik, hal itu memang menjadi pengetahuan umum. Sejak dulu, aku lebih dekat dengan Papa daripada Mama. Orang yang benar-benar kenal aku, memang akan heran kenapa aku berakhir dengan Mama selepas perceraian alih-alih Papa. Namun, seharusnya Benny nggak termasuk golongan orang-orang itu, kan? Mungkin aku dulu pernah bercerita kepadanya, tetapi masa iya ingatannya sekuat itu?

"Ev?"

"Well ... ada alasan ini dan itu."

Benny nggak menjawab. Ia juga nggak bertanya lebih lanjut. Kurasa, dia cukup peka menangkap kesan bahwa aku nggak akan membicarakan hal-hal pribadi seperti ini dengan orang asing sepertinya.

"Dari sini lurus aja?" tanya Benny, saat mobilnya memasuki area perumahanku.

"Yup. Nanti belokan kedua ke kiri."

Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang