Kutatap bayanganku di cermin di pintu lemari yang setinggi tubuh. Wajah sedih berbalik menatapku, dengan kantung mata hitam dan bibir pecah-pecah. Kulit gelapku terlihat sedikit pucat, mungkin karena jarang terkena sinar matahari. Kurasa aku juga kehilangan beberapa kilo berat badan, menilik pipiku yang jauh lebih tirus, meski sudah jauh mendingan dibandingkan seminggu yang lalu.
Penampilanku memang nggak bagus, tapi seenggaknya aku masih hidup, kan? Hal-hal buruk yang bisa saja terjadi, nggak terjadi. Hal-hal buruk yang kupikir akan terjadi, nggak terjadi. Itu fakta pertama yang harus kusyukuri, juga pelajaran yang kupetik dari beberapa tahun belakangan: bahwa kita harus pandai-pandai mencari poin positif dari segala hal, sekecil apa pun, karena itu adalah cara terbaik untuk bertahan.
Rambut keritingku kuatur dengan gaya french rope and twist braid. Sebenarnya, aku ingin memangkas rambutku untuk membuang kenangan-kenangan buruk—aku masih bisa mengingat ketika tangan kotor bajingan itu menarik rambutku. Namun, tipe rambut yang kupunya sulit diatur dalam kondisi pendek. Aku belum menemukan model rambut pendek yang nggak membuatku menghabiskan banyak waktu mengatut rambut di pagi hari.
Setelah memastikan penampilanku oke—dalam artian, layak—aku kembali memeriksa barang-barang yang perlu kubawa ke kantor. Yap, hari ini, setelah dua minggu, aku berniat untuk ke kantor. Membayangkan harus berdesak-desakan di kendaraan umum memang cukup membuatku ngeri. Namun, membayangkan berduaan dengan orang asing di transportasi online juga nggak lebih baik. Aku masih belum memutuskan pilihanku sampai sekarang. Nanti sajalah, mungkin aku dapat inspirasi begitu keluar kamar.
Saat aku mengambil ponsel yang sedang di-charge, kulihat ada chat masuk.
Papa:
Eva ngantor hari ini?
Mau Papa jemput dan antar ke kantor?Jgn nail kendaraan umum!Ada juga chat lain.
Nugie:
Va, mau aku anterin ke kantor?
Hari ini aku ngajar siang.Jadi bisa jemput kamu duluAku berpikir sebentar. Jarak rumah Papa ke sini sangat jauh. Jika Papa mengantarku ke kantor sebelum ke kampus, itu artinya Papa harus memutar dan menempuh perjalanan 2x dari yang seharusnya. Mana pagi-pagi begini jalanan biasanya kacau, bisa-bisa Papa terlambat ke kampus—aku nggak tahu jadwal mengajar Papa hari ini. Kalau Papa harus mengajar pagi, itu artinya sama seperti bunuh diri.
Lantas, Nugie. Well ... secara jarak, rumah Nugie ke sini lebih dekat daripada Papa. Apabila harus, Nugie juga bisa memakai arah yang sama ke kantorku dan kemudian ke kampus tempat dia mengajar. Effort-nya jauh lebih sedikit daripada Papa.
Namun, aku terus-terusan memikirkan pertemuan terakhirku dengan Nugie. Rasa nggak nyaman itu masih menggelayut, seperti luka di ujung jari. Apakah pertemuanku dengan Nugie kali ini akan lebih baik? Apakah aku bisa berduaan dengan Nugie di dalam mobil untuk waktu yang cukup lama? Apakah aku bisa melawan rasa nggak nyaman itu, sehingga perjalanan ke kantor akan baik-baik saja?
Aku belum mengambil keputusan saat Bude Mara memanggilku, menyuruhku untuk sarapan dulu. Karena nggak enak, aku pun segera keluar membawa tas dan barang-barang yang akan kubawa. Bude Mara sudah siap di meja makan, dengan berbagai menu sarapan yang menggoda. Ada tumis buncis, tempe goreng yang berwarna keemasan, juga tumis daging yang sepertinya dimasak dengan lada hitam.
"Sarapan dulu, Va, biar banyak energinya."
"Makasih banyak, Bude."
Hati merasa campur aduk melihat sajian di meja. Bagaimana aku harus menyebut ini? Aku sudah lupa kapan terakhir kali ada seseorang yang menyiapkan sarapan sebelum aku bekerja. Seringnya aku jajan nasi uduk atau masak sendiri ala kadarnya dengan barang-barang yang ada di kulkas. Di siai lain aku nggak enak karena Bude Mara jadi repot. Padahal aku sudah enak diberi tempat tinggal gratis. Rasanya ini seperti aku numpang dan nggak tahu diri. Mestinya malah aku yang memasak untuk Bude Mara, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari Lalu
ChickLitPandemi benar-benar mengubah hidup Eva. Berawal dari kantornya yang gulung tikar dan berujung PHK besar-besaran, Eva kini seorang pengangguran dengan beban seorang Ibu yang nggak mau tahu situasi dan kesulitan ekonominya. Setahun lebih Eva menganggu...