Validasi 99,5%

22.6K 4.4K 776
                                    

[Yogyakarta 2013]

Perasaanku kepada Benny semakin membesar setiap harinya. Dulu chatingan random di BBM adalah hal yang biasa saja, sekarang menjadi hal yang kunanti-nantikan. Saat Benny nggak nge-chat, aku jadi kelabakan cari-cari alasan untuk nge-chat dia duluan.

Di hari ulang tahunku beberapa minggu lalu, Benny mengajak anak-anak Marcopolo untuk membuat kejutan. Dia datang membawa kue ulang tahun berbentuk tumpukan buku. Kata anak-anak Marcopolo sih Benny selalu begitu, siapa pun yang ulang tahun. Namun, rasa geer dalam hatiku tetap saja membuncah nggak tahu malu.

Masalahnya, itu belum semua. Anak-anak Marcopolo nggak tahu kalau malam sebelumnya, tepat pukul 00.00, Benny muncul di depan rumahku. Membawa kue ulang tahun berukuran mini yang sudah menyala saat aku keluar pagar. Lantas ia mengajakku makan tongseng di Warung Mbah Ganis, salah satu warung andalan di Jakal atas yang buka hingga pukul 2 pagi.

Jika mereka ada di posisiku, perasaan geer-ku ini akan terkesan beralasan. Ah, ayolah. Kurasa aku sudah cukup umur untuk bisa menilai dan menafsirkan sikap seseorang. Kadang aku heran saat membaca novel remaja, di mana tokoh ceweknya bisa nggak sadar bahwa si tokoh cowok naksir padanya. Memangnya kita bisa se-nggak peka itu, ya?

Singkatnya, aku merasa perasaanku pada Benny cukup berbalas.

Jika nggak punya perasaan apa-apa, mana mungkin Benny tiba-tiba muncul di depan rumahku malam-malam dan mengajakku ke Bantul hanya karena sebelumnya, di chat, aku berkata tiba-tiba pengin makan sate klathak Pak Bari?

Jika dia nggak punya perasaan yang sama, dia pasti nggak akan repot-repot mencarikanku tiket konser Sheila On7 sebulan yang lalu di PKKH UGM gara-gara uang sakuku belum keluar dan tiketnya cukup lumayan. Aku nggak mau juga merengek pada Papa untuk minta uang saku tambahan. Saat uang sakuku turun, tiketnya sudah sold out karena memang terbatas. Aku sempat curhat pada Benny, bahwa aku sedih karena melewatkan konser Sheila On7 kali ini. Padahal, selama ini, setiap kali Sheila On7 manggung di Jogja, aku selalu datang.

Di hari H konser, tiba-tiba Benny mendatangiku di kampus memamerkan dua lembar tiket konser yang kudambakan. Mataku membeliak. Entah bagaimana cara Benny mendapatkan tiket itu. Mungkin ada temannya yang jadi panitia, dan Benny melobi kepadanya.

Aku sudah siap-siap mengeluarkan dompet untuk membayar tiket itu, tapi Benny malah menatapku dengan kening berkerut.

"Aku nggak jualan tiket lho, Ev," katanya dengan ekspresi serius, seolah tersinggung.

"Hah?" Aku ikut-ikutan bingung. "Njuk mung arep pamer thok?" (Terus cuma mau pamer doang?)

Benny tertawa. "Aku mau ngajakin kamu nonton bareng. Gratis tis!"

"Eh, enggak, enggak! Kan mahal itu tiketnya!" tolakku cepat-cepat. "Udah, aku gantiin aja duitnya, Kak."

"Kalau kamu nggak mau, ya udah, aku ajak Udjo aja," kata Benny sembari berlalu dari hadapanku.

Aku melongo selama satu atau dua detik, lantas buru-buru mengejar Benny.

"Eh! Kak! Mau! Aku mau!"

Benny berbalik dan tersenyum lebar. Alhasil, hari itu aku nonton konser band favoritku dengan dompet aman.

Hatiku yang nggak aman.

Maksudku, Benny nggak mungkin sebaik dan seperhatian itu ke semua cewek, kan? Beberapa minggu terakhir, saat mataku nyaris susah dilepaskan dari sosok Benny, aku memperhatikan caranya berinteraksi dengan orang lain. 

Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang