[Yogyakarta 2012]
Teater Marcopolo adalah komunitas teater mahasiswa lintas kampus yang cukup terkenal di Yogyakarta. Didirikan oleh seorang pemain teater senior di kota pelajar, Marcopolo beranggotakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Hampir setiap minggunya ada pertemuan rutin di basecamp Marcopolo--sebuah rumah joglo lawas di kawasan Kaliurang, yang merupakan sumbangan dari pendiri. Entah untuk mempersiapkan pementasan, atau untuk merencanakan berbagai kegiatan lain seperti bakti sosial.
Aku sendiri sudah tertarik dengan dunia teater sejak duduk di bangku SMP. Jika ada acara yang melibatkan pentas drama, aku jad orang yang paling semangat mempersiapkannya. Di bangku SMA, sekolahku mewajibkan satu anak untuk ikut peminatan seni setiap minggunya, dan tentu saja aku memilih seni teater. Begitu masuk kuliah aku juga ikut aktif dengan komunitas teater fakultasku. Bahkan, aku pernah mendapatkan gelar aktris terbaik di perlombaan teater antarjurusan di masa orientasi dulu. Saat itu, aku mendapatkan peran sebagai orang gila yang mengalami pelecehan seksual. Jadi, aku nggak menolak saat Mas Udjo, seniorku angkatan 2010 mengajakku gabung ke komunitas teater yang lebih besar, Teater Marcopolo. Semakin besar komunitas yang kuikuti, semakin banyak orang yang akan kutemui.
Nggak butuh waktu lama bagiku untuk membaur dengan anggota Marcopolo lainnya. Selain mereka memang orang-orang yang hangat, asyik, dan seru, kata teman-temanku aku memang sosok yang supel dan mudah bergaul. Well ... alasan sebenarnya sih, aku butuh kegiatan. Aku lebih senang berada di luar dan bertemu dengan banyak orang karena rumahku sendiri seperti neraka. Papa dan Mama semakin hobi saling berteriak dan melempar barang. Rumah yang bagi orang lain adalah zona nyaman, bagiku justru menjadi panci panas yang membakarku dari dalam.
Salah satunya adalah hari ini. Aku baru saja tiba di rumah saat suara piring pecah membahana, terdengar hingga keluar. Gerakanku membuka pagar rumah pun terhenti. Kuhela napas panjang, lalu pagar itu kututup lagi. Aku pilih duduk di bangku semen kecil yang ada di depan rumah, sembari memasang headset di telinga. Budhe Wiek, tetangga sebelah rumah, sempat melintas dan menawariku untuk mampir ke rumahnya. Aku yakin tetangga-tetangga kami sudah hafal dengan kegiatan "banting-banting barang" di rumah kami. Aku benci, tetapi bisa memaklumi ekspresi mengasihani yang mereka tampilkan setiap kali melihatku.
"Aditya dan Wulandari itu berantem terus. Apa nggak kasihan sama anaknya yang jadi korban?"
"Efek nikah muda kali, ya? Emosinya belum matang. Wulandari itu hamil duluan tho, Bu?"
"Iya. Tapi ndak jelas juga itu anaknya Aditya apa bukan."
Kira-kira begitulah yang muncul di obrolan ibu-ibu saat belanja di tukang sayur pagi-pagi. Berawal dari suara banting-banting barang, berakhir dengan mempertanyakan statusku sebagai anak haram.
Klasik.
Aku sedang asyik memilih-milih lagu di playlist saat pesan beruntutan masuk ke grup BBM Teater Marcopolo.
Benny:
Ono sing lagi gabut, dab?
Aku dapat 3 tiket premier film Surat Kedua jam 19.00 hari ini
Di Amplaz
Yen minat japri ya asap
First come first served wkwkAku berpikir sebentar. Suara pedebatan Mama dan Papa samar-samar terdengar padahal aku sudah pakai headset. Kukedikkan bahu, lalu mengklik japri untuk Benny. Daripada aku cengo di rumah, mendingan aku nonton film.
Balasan dari Benny cepat datang.
Benny:
Mujur kamu Ev
Sisa 1 doang ini
Langsung ketemu di Amplaz ya
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari Lalu
Chick-LitPandemi benar-benar mengubah hidup Eva. Berawal dari kantornya yang gulung tikar dan berujung PHK besar-besaran, Eva kini seorang pengangguran dengan beban seorang Ibu yang nggak mau tahu situasi dan kesulitan ekonominya. Setahun lebih Eva menganggu...