Pentas Pertama

20K 4.5K 614
                                    

[Yogyakarta 2013]

Menjelang pementasan adalah momen-momen keramat untuk kami. Latihan sudah ditiadakan sejak dua hari yang lalu, dan kami semua diminta istirahat cukup supaya full energi saat tampil nanti.

Aku bahkan numpang menginap di rumah Mindie, karena situasi di rumahku semakin nggak kondusif. Papa dan Mama sudah tiba di kesepakatan untuk bercerai. Kini mereka meributkan aku harus ikut siapa, dan aku sedang nggak ingin menghadapi itu semua.

Aku harus fokus pada pementasan ini. Juga rencana yang akan kujalankan nanti seusai pementasan.

Euforia bahagia dan semangat memenuhi pembuluh darahku. Rasanya segala-galanya begitu menggairahkan. Rasa-rasanya, nggak mungkin ada kegagalan.

Tepatnya begitulah pertunjukkan kami berjalan. Hasil dari latihan berbulan-bulan berwujud menjadi pementasan yang minim kesalahan. Aku sempat lupa dialog di satu adegan, tetapi Benny bisa berimprovisasi dan menutup kebolongan itu dengan gemilang. Di akhir pentas, penonton berdiri dan bertepuk tangan saat kami membungkuk di atas panggung. Pementasan pertamaku dengan Marcopolo sukses besar.

"Va! Mantap gila! Keren banget!"

Mindie dan beberapa teman sekampusku menyambutku di belakang panggung. Aku menghampiri mereka dengan senyum semringah. David, mantan pacarku yang putus tahun lalu tapi masih berhubungan baik, menyerahkan buket bunga untukku.

"Suwun dab, suwun," ungkapku terharu. Aku nggak menyangka kalau mereka akan menyempatkan diri untuk datang. (Makasih, gays, makasih.)

"Mas Udjo mana, Va? Kita juga mau kasih bunga nih buat dia," kata David.

"Mas Udjo ... di mana, ya? Di ruang makeup mungkin. Mau tak panggilin po?"

"Nggak usah lah, ntar juga ke sini."

Aku ngobrol sebentar dengan mereka, lantas pamit untuk membersihkan makeup dan ganti baju. Setelah ini kami akan ada evaluasi bersama di panggung, sebaiknya aku sudah menyelesaikan misiku sebelum itu.

Di ruang makeup, nampak pemain-pemain Marcopolo juga tengah membersihkan makeup tebal yang mereka pakai. Aku bergerak sangat cepat, hingga aku bisa selesai lebih dulu padahal mulainya belakangan. Wajahku sudah segar, dan pakaianku juga sudah berganti dengan celana panjang dan kaus plus cardigan.

"Cepet amat sih, Va? Ini Upi kayaknya pake arang, susah banget dihapus," keluh Siwi. Upi adalah makeup artist yang mendandani kami semua.

Aku hanya menyengir, lalu mencangklong tasku. "Aku keluar dulu, ya. Ketemu nanti di evaluasi."

Di luar ruang makeup dan ganti, anak Marcopolo masih berlalu lalang. Mas Prie sedang ngobrol dengan Mas Irsyad dan Pak Senjakala, pendiri dan pembina utama Marcopolo. Tim properti masih menangani sisa-sisa properti yang harus kami bawa pulang karena gedung harus ditinggalkan dalam keadaan bersih seperti sedia kala.

Di tengah kesibukan itu, mataku mengedar mencari sosok Benny.

"Mas, Mas, lihat Kak Benny nggak?" tanyaku pada Mas Heru, ketua tim lighting.

"Kayaknya tadi di parkiran, Va, nggak tahu kalau sekarang."

Parkiran? Masa dia sudah mau pulang dan nggak ikut evaluasi?

Aku bergegas menuju arah parkiran gedung. Untung saja, sebelum aku tiba di sana, Benny muncul di kelokan ujung koridor. Sepertinya ia baru saja berniat kembali ke area dalam gedung. Ekspresinya sedikit terlihat kaku, tetapi dia tersenyum tipis saat melihatku.

Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang