Aku nggak tahu apa yang kuharapkan, tapi kuputuskan untuk mengunjungi Mama akhir pekan ini.
Alamat yang sudah Mama berikan padaku berbulan-bulan lalu itu mudah dicari. Mama tinggal di sebuah sebuah perkampungan yang cukup padat. Rumah-rumah berdempetan dengan teras sempit yang cuma muat untuk satu motor. Karena aku datang di akhir pekan, jalanan kampung itu penuh dengan anak-anak kecil yang bermain dan ibu-ibu yang asyik bergosip bersama tukang sayur.
Rumah Mama berada di paling ujung. Sebuah rumah petak sederhana dengan dinding berwarna biru muda. Motor bebek tuaku yang kini dipasangi tas keranjang terparkir di sana. Pintu depan terbuka sedikit dan terdengar suara-suara obrolan dari dalam.
Aku masih memikirkan bagaimana aku menyapa Mama, ketika satu suara memanggilku.
“Lho, Eva?”
Aku menoleh. Dari jalanan depan rumah, Mama muncul membawa keresk hitam.
“Ayo, masuk! Masuk!” Mama bergegas menghampiriku, lalu membuka pintu rumah lebih lebar. “Ayo, masuk! Kok kamu nggak bilang-bilang kalau mau datang?”
"Tadi lewat deket sini, sekalian mampir," jawabku berbohong. "Ini lagi ada acara, Ma?"
Mama menggeleng, lalu membuka pintu rumah lebih lebar. Dua orang ibu-ibu duduk di lantai sembari membungkus lemper.
"Mama lagi bikin pesanan, dibantuin sama ibu-ibu sini."
Aku ber-oh pendek. Mama segera memperkenalkanku sebagai anak semata wayangnya. Aku berusaha bersikap sopan dan menyapa mereka satu per satu. Mama lantas mengajakku ke dapur mungil yang ada di bagian kanan rumah. Di sana, dua dandang besar sedang dipanaskan di atas kompor.
“Ini buat mengukus lemper,” terang Mama tanpa diminta.
Pada chat-nya yang dikirim Kamis malam lalu, Mama mengirimkan foto bahan-bahan makanan yang siap diolah esok pagi dan bercerita tentang usaha kateringnya yang mulai berjalan lancar. Melihat kesibukan Mama hari ini, kurasa chat itu betulan.
"Banyak pesenannya, Ma?" tanyaku.
"Lumayan. Snack untuk pengajian sore nanti jumlahnya 300 kotak."
"Wow. Banyak itu." Aku berdecak takjub. Untuk ukuran usaha katering yang baru berjalan, itu sangat-sangat lumayan.
"Ya syukur, Va. Udah bisa buat hidup sehari-hari. Eh, kamu udah sarapan? Mama hari ini masak sayur asem sama ikan asin. Sarapan, mau?”
Aku mengiakan tawaran Mama. Selain karena aku belum sempat makan di rumah sebelum berangkat kursus bela diri tadi, aku juga lumayan kangen masakan Mama.
"Dulu awalnya Mama bantuin Tante Emi," kata Mama saat mengambilkanku makanan. “Dia sering dapat pesanan katering partai besar. Belakangan Emi keteteran. Terus Mama kan lebih jago bikin jajanan dibandingkan Tante Emi yang lebih jago masak makanan berat."
"Terus Tante Emi yang masak menu utama, Mama yang urus snack?" tebakku.
Mama mengangguk. "Nanti kamu jangan lupa mampir ke tempat Tante Emi, ya."
"Di sebelah itu, kan? Yang ada mobil kuning?"
"Iya."
Sambil makan, aku mendengarkan cerita Mama yang rasanya nggak habis-habis. Tentang anak Tante Emi yang baru pulang dari tugas kerja di Kalimantan, tentang tetangga sebelah yang rajin bantuin meski nggak dibayar karena punya banyak waktu luang, tentang kue-kue yang Mama titipkan ke koperasi rumah sakit nggak jauh dari situ, dan juga tentang motorku yang sekarang Mama pake buat belanja bahan-bahan ke pasar, tentang barang-barangku dari rumah lama yang disimpan di gudang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kuingat Darimu dan Hari-Hari Lalu
ChickLitPandemi benar-benar mengubah hidup Eva. Berawal dari kantornya yang gulung tikar dan berujung PHK besar-besaran, Eva kini seorang pengangguran dengan beban seorang Ibu yang nggak mau tahu situasi dan kesulitan ekonominya. Setahun lebih Eva menganggu...