DUA PULUH TUJUH

829 118 20
                                    

"Papa kalah, El." Elang mengangguk, kepalanya masih menuduk. Elang tau maksud papanya. "Maafin papa, yang nggak bisa mempertahankan."

"Papa udah berusaha."

"Kamu tau hal yang paling menyakitkan?" Kepala Elang menggeleng dengan pelan. "Melihat kesedihan di mata kamu."

"Lambat laun kesedihan itu akan hilang."

"Papa berharap begitu." Elang menoleh, melihat papanya menatap kaca jendela. "Papa tidak mau memaksa kamu dalam hal apapun. Bahkan melarang kamu untuk bertemu bunda."

"Elang ikut papa."

"Papa nggak bisa masak, lho."

"Papa kerja, tinggal beli." Dika terkekeh, menahan gejolak amarahnya. Rasanya air mata Dika sudah tidak terbendung lagi. "Kita mau ke mana?"

"Besok kamu izin sekolah dulu." Dahi Elang mengerut tidak paham. "Kita kemas barang di rumah."

"Kita yang keluar?"

"Itu rumah bunda peninggalan kakek, kamu mau numpang di sana?" Kepala Elang menggeleng. "Papa udah siapin rumah buat kamu, harusnya buat nanti kamu kalau udah nikah. Tapi ternyata takdir berkata lain."

"Oke."

"Papa ingin mempertahankanya." Elang hanya mengangguk tidak tau mau merespon gimana. "Tapi papa takut terulang lagi. Perselingkuhan itu, penyakit. Akan kambuh dan terjadi lagi."

"Bagaimana keadaannya?"

"Bunda kamu baik-baik aja, dan keliatan menemukan kebahagiannya." Dika menarik nafasnya kuat-kuat. "Tapi mungkin kamu akan sulit bertemu dengannya."

"Tidak masalah."

"Jangan seperti itu. Kamu akan tetap butuh bunda kamu."

"Bukankah beliau sudah menemukan kebahagiannya?" Mata mereka berdua bertemu dengan saling tatap. "Untuk apa menghancurkan kebahagian orang lain? Lagipula, Elang pasti akan menemukan kebahagian lain."

"Papa setuju dengan kata terakhir kamu. Tapi tetap saja, kalau ada waktu, kamu temui."

"Nggak janji."

"Elang."

"Kenyatannya, El nggak baik-baik aja, pah."

"I know." Dika memeluk Elang, mengusap bahu anaknya dengan tangan gemetar. Mendengar suara tangisan anaknya yang menyakitkan, Dika merasa gagal sebagai orangtua. Entah apa kekurangannya, sehingga sang istri berpaling pada pria lain.

"Kita keluar, nggak enak sama om Gana."

"Nginep?"

"Untuk malam ini, di apartemen papa dulu. Apartemem lama, masih jaman belum berduit."

"Rumah barunya, jauh?" Dika terkekeh geli. Anaknya ini bukan menanyakan bagus atau tidak, malah jarak yang menjadi pertanyaan.

"Dekat sekolah kamu." Senyuman terbit di bibir Elang. "Lima belas menit nyampe kalau naik motor."

"Ini yang Elang mau."

"Di perumahan bude kamu." Elang menoleh cepat. Ancaman kalau dekat budenya. Apalagi kakak sepupunya yang super heboh dan pasti Elang jadi tumbal keajaibannya.

"Nggak masalah deh, meskipun nanti bude ngomel mulu."

"Setidaknya jauh lebih tenang kalau papa kerja, kamu di sana." Elang mengangguk paham. "Tapi kalau ke rumah Naya, jauhnya lumayan."

Dan Dika mendapat wajah kesal dari anaknya. Dalam keadaan seperti ini, papanya masih bisa menggodanya dengan menyebut nama Naya. Lalu Elang berdiri, merapikan seragam yang ia kenakan.

IT'S ME KANAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang