EMPAT PULUH TIGA

853 129 4
                                    

Elang masih berdiri di depan gerbang, menunggu seorang Kanaya yang belum juga muncul. Anehnya, dua cumi sudah tiba di sekolah. Seingat Elang, tadi pagi ia sudah membangunkan Naya. Lalu, kenapa masih telat? Ini amat membingunkan di kepala Elang. Sudah tau langganan hukuman, masih saja tidak tobat. Apa Elang harus bawa Naya ke dukun? Sepertinya iyah. Fyi; malam ini adalah acara pernikahan papanya dan calon ibu tiri. Awas saja kalau Naya telat juga ke acara nikahan.

"Ngapain lo di depan gerbang?"

"Jadi patung." Naya menatap Elang dari ujung ke ujung. "Pake nanya lagi. Baris ke lapangan."

"Sabar, napas dulu."

"Dari luar, belum napas?"

"Beda cerita."

"Apanya yang beda!?" Jujur, Elang ini ngomelnya mirip emak-emak depan komplek. Naya yang melihat Elang, membalasnya dengan cibiran. "Jangan ledekin, buru baris."

"Kagak ada sabar-sabarnya." Murid Candana sudah biasa di suguhi perdebatan dua sejoli yang tak mereka tau, kalau sudah pacaran.

"Udah tau ini hari senin, telat terus."

"Bawel." Elang terkekeh, ia jalan mengikuti Naya. "Gue mau baris, sono lo kedepan."

"Gue di tugasin buat mantau."

"Oh."

Upacara yang di haruskan setiap senin. Mungkin semua orang takut ketinggalan upacara, tidak dengan Naya. Ia malah baru baris dua menit yang lalu. Cuaca hari ini memang begitu panas, hingga Naya memilih jongkok.

"Jangan jongkok." Elang menarik bahu Kanaya, agar berdiri. "Lo pake rok."

"Panas." Elang memakaikan topi milikinya, di kepala Naya. Di tariknya ke bawah, agar bisa menutupi wajah Naya. Elang tau, kalau wajah Naya kepanasan, akan terlihat merah. Harap maklum, kulit Naya putih.

Kepala sekolah menyampaikan ini hari terakhir beliau mengajar, besok sudah bukan tugasnya. Elang berkeliling, meninggalkan Naya tengah menunduk.

Lama-lama Naya berasa lagi di jemur, kepala sekolah juga tidak ada niatan untuk berhenti berbicara. Ya Tuhan, dosa Naya sepertinya terlalu banyak.

"Tau gitu, gue berangkat jam delapan aja. Lama." Dan sentilan di keningnya mendarat dengan suka rela. Naya menoleh, mendapatkan Elang tengah menatapnya tajam. "Apa?"

"Niat berangkat siang, oh tidak bisa Kanaya."

Setau Naya, kalau punya pacar itu di sayang, di belain, di perhatiin, di ngertiin, kayak Caka dulu sama Lili. Kenapa ia merasa beda? Mana ada pacaran kerjaannya berantem, adu bacot, belum lagi tiap subuh di bangunin.

Memang beda versi Naya dan Elang pacarannya.

"Kepala sekolah, kapan kelar ngocehnya?"

"Hush nggak boleh gitu." Elang mengelap keringat di dahi Naya makin mengucur, pasalnya memang Naya tidak kuat panas. Alasan Naya setiap jam istirahat di bawah pohon mangga, adem. Dari pada di kantin, Naya lebih nyaman di bawah pohon mangga.

"Haus."

"Sabar, lima menit lagi." Untung saja para murid fokus ke depan, jadi tidak ada yang melihat Elang mengelap keringat Naya. "Tangan sini."

"Berapa menit lagi?" Elang terkekeh, tangannya mencubit hidung Naya. Dengan telaten, Elang mengelap telapak tangan Naya.

Bucin tidak tau tempatnya.

Akhirnya selesai juga upacara, semua murid bubar masuk ke kelas. Kanaya? Kabur ke kantin, sampai Elang kecolongan.

"Gue pacaran sama bocil kayaknya." Gumam Elang menyusul ke kantin, untuk segera menyeret Naya. Enak saja main kabur, tidak akan Elang lepas gitu aja. Melihat kantin cukup ramai, Elang menghela napas kasar.

IT'S ME KANAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang