TIGA PULUH SATU

902 127 13
                                    

Semua menatap Naya dengan wajah kagetnya. Elang semakin memperhatikan Kanaya, begitu pun dengan Sastra. Sastra bahkan lebih maju melihat saudaranya tengah melawan anak Pelita Bangsa.

"Sejak kapan dia jago main basket?" Ujar Satra menatapnya tak percaya. Bahkan Naya memahami gerak-gerik lawannya. Score Naya lebih tinggi, dan perbandingannya jauh.

"STOP!!" Suara Viona menggelehgar ke seluruh penjuru lapangan. Bibirnya tersenyum, menghampiri Kanaya tengah berdiri menatap para penonton histeris. "Kemampuan lo, nggak bakal ilang wahai princess bar-bar."

Viona menatap semua orang di sekitaran sana, dengan senyuman sinis. Matanya menemukan dua manusia yang tengah kaget. Baguslah, ini yang Viona mau.

"Siska."

"Gue baru tau Senja." Siska menatap Naya dan score, lalu melihat Viona memeluk Kanaya. "Sejago itu dia."

"Sialan." Ujar Senja mengusap rambutnya penuh keringat. "Kita kecolongan."

"Lo bener" kata Siska dengan nafas yang melemah. "Kalau kita tau dari awal kemampuan Kanaya, kita bisa ajak dia gabung."

"Kita bahas nanti, pulang dulu." Senja menarik tangan Siska, meninggalkan beberapa orang yang masih memuji Kanaya. Para penonton sudah bubar, namun Naya masih berdiri di tengah lapangan.

"Jordy." Nafas Jordy hampir saja putus, pun dengan Caka. Kedua sahabat Naya menatap sekitarnya, dan tidak ada satupun yang melihat ke arah mereka. Surya, mana si Surya. Ah manusia satu itu, memang susah jauh dari ketua osis. "Lo tau Kanaya sejago itu?"

"Iyah."

"Sejak kapan?"

"Duh Sastra," gerutu Jordy, lalu menatap Fizi dan Langit. Padahal masalah mereka belum juga selesai. "Naya selalu gangguin gue sama Caka, pasti bisa main basket."

"Terus, kenapa lo nggak main basket?" Pertanyaan Fizi minta di jait mulutnya. Jelas saja dua sahabat Naya ini anaknya semau mereka.

"Karena kita mau jadi putra duyung." Ujar Caka dengan tawanya, Jordy langsung terbahak. Memang julukan Naya, akan selalu melekat.

"Jordy."

"Lo kenapa ingin tau segala hal soal Naya?" Kali ini Jordy terlihat lebih serius, menatap mata Sastra. "Sejak kapan lo, peduli dengan Kanaya?"

"Gue saudaranya."

"Sodara?" Jordy memutar bola matanya jengah. "Lo cuma anak dari kakak bapak gue. Nggak ada peran sodara dalam diri lo."

"Jo, udah." Tegur Caka, menahan tangan Jordy. Sastra terdiam kaku, lalu matanya bertemu dengan tatapan Jordy. Caka tidak mau kalau Jordy di kuasai emosinya. Sejak kejadian di bawah pohon mangga, di mana Sastra lebih membela Sandy, sejak saat itu juga, tidak ada lagi sapaan dari Jordy untuk Sastra.

"Dengerin gue, Sastra." Jordy menarik kerah baju Sastra, bibirnya tersenyum sinis. "Lo nggak perlu berperan jadi sodara. Lakuin apa yang lo mau. Naya, itu urusan dia sendiri. Nggak usah belagak jadi sodara baik, kalau lo aja, nggak pernah lindungi dia."

"Jordy, lo tenangin diri dulu." Kata Caka menahan tubuh Jordy. Mana Kanaya sibuk ngobrol dengan Viona. Apa tidak melihat dua saudaranya sedang adu tatap menakutkan. Langit dan Fizi memilih diam, mereka berdua bahkan tidak menahan Sastra. Langit, teman Sastra yang benyaknya diam. Bahkan bisa bicara saja, sudah ada kemajuan.

"Gue masih belum puas, Caka." Kini Caka yang mendapatkan tatapan amarah dari Jordy. Lalu Jordy menatap Sastra lagi. "Lo bahkan nggak tau hal sekecil apapun tentang Kanaya. Gue curiga, lo ini sodara gue atau musuh?"

"Gue memang nggak dekat sama kalian."

"Karena lo terlalu merasa, teman lo, yang selalu ada."

"Iyah."

IT'S ME KANAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang