11👀

55 65 3
                                    

Warning!
Cerita ini hanya fiksi belaka, tidak bermaksud atau pun mengajari hal-hal yang tidak baik. Jadi, pintar-pintarlah dalam mengambil kesimpulan.
Terimakasih

Happy Reading🐝

2 bulan kemudian....

Dua bulan setelah kejadian Citra. Kini, keadaan sudah kembali membaik. Mereka juga telah memaafkan Fajar, dan sifat/sikap demo mereka juga telah kembali.

Saat ini seluruh murid sudah masuk ruang kelas masing-masing, karena ini sudah waktunya untuk melaksanakan ujian akhir semester satu, dan hari ini adalah hari pertama mereka ujian setelah UTS.

Pusing? Pening? Mumet? Ya, jelas sekali mereka merasakan hal itu. Siapa yang tidak pusing berhadapan dengan beberapa lembar kertas yang hanya diisi oleh berbagai pertanyaan, sudah tentu orang pasti akan pusing di buatnya. Terlebih lagi, pelajaran yang di belum di pelajari malah sudah di sangkutkan di dalam soal. Bagaimana cara mereka menjawab nya?

Lebih parahnya, awal mereka memasuki ujian tengah semester, mereka sudah mendapatkan mata pelajaran ujian yaitu bahasa Inggris dan PAI. Dimana dua mata pelajaran ini termasuk pelajaran yang sulit, karena jika bahasa Inggris sudah pasti harus menerjemahkan terlebih dahulu, dan pelajaran PAI yang harus mengingat berbagai firman Allah dan hadist Nabi. Mudah bagi siapa yang mengerti dalam pembelajaran. Namun, apa daya mereka yang sangat sulit menerima pembelajaran?

"Eh Gin! Nomor 5 apa?"

"Bentar gue belum."

"Jangan ada yang nyontek atau kerja sama, ya." Pekik pak Fredi.

"Iya pak..."

"Tapi bohong:)" Lanjut para murid dalam hati.

Beberapa menit kemudian. Mungkin karena bosan, Pak Fredi akhirnya memutuskan untuk keluar dari kelas barang sebentar, dan tentu saja itu menjadi kesempatan emas untuk mereka. Apalagi jika bukan untuk mencontek jawaban teman.

"Eh, Sin! Nomor 4 sama 7, apa?"

"4.C, 7.E."

"Nomor 1, apa?"

"1.A."

"Oke makasih! Alhamdulillah, siap juga!"

"Bagi woy!" Teriak mereka spontan. Akibat teriakan mereka, jadilah saat ini Pak Fredi kembali masuk keruangan.

"Halah halah! Ngapain masuk, coba!"

Pak Fredi memicingkan matanya. "Kalian nyontek, ya?!"

"Eh! Nggak kok, Pak." Sanggah mereka.

"Terus, ngapain teriak-teriak?"

"Nggak ada, pak! Tadi cuma... Hmm! Pinjam pengahapus! Ya. Penghapus, Pak!" Alasan Naumi.

Pak Fredi hanya mengangguk antara percaya tak percaya. "Yaudah, lanjutkan lagi ujiannya, waktunya tinggal sedikit lagi, ini." Perintahnya.

"Iya pak!"

Setelah sedikit kebohongan. Mereka semua kini sudah kembali ke aktivitas mengerjakan ujian.

"Eh mampus! Apa nih jawaban nomor 30?"

"Yah! Satu lagi. Apa ni nomor 45!"

"Ppsstt.... Sintia, nomor 30 apa?"

Sintia hanya memberi kode lewat jari tangannya, dia menunjukkan 3 jari, yang artinya jawabannya adalah "C."

"Mantap!"

"Pppsssttt.... Tanya Naumi nomor 21 sama 35 apa?"

"Naumi! 21 sama 35."

IPS📚 (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang