09. Arrio - Bunga Tulip Merah

30 3 0
                                    

Cinta memang indah, namun bisa membutakan akal sehat jika tidak bisa dikendalikan.

•••

Arrio merebahkan diri di kasurnya. Hari ini Ia ingin meliburkan diri dari pekerjaan yang menumpuk. Sudut matanya berdenyut. Rasa kantuk melandanya. Padahal, sekarang masih pagi dan seharusnya Ia berencana untuk keluar dan jogging di sekitar rumah kontrakannya. Namun sepertinya kegiatan itu harus dibatalkan karena tubuhnya yang sedang tak baik-baik saja.

Tiba-tiba, perutnya terasa bergejolak. Arrio segera pergi ke kamar mandi dengan terburu-buru dan memuntahkan cairan bening di wastafel. Kedua matanya terlihat berkaca-kaca. Tubuhnya begitu lemas tak bertenaga. Detak jantungnya pun berdetak tak beraturan, rasanya seakan dihimpit oleh benda keras. Ditambah, bagian lengan kirinya terasa amat nyeri sampai akhirnya Ia bersender di dinding kamar mandi.

"Ya Allah," Arrio mendesis pelan. Lengan kanannya mencengkram lengan kirinya. Ia merintih kesakitan. Entah sudah seberapa sering Ia merasakan hal ini. "Kuatkan Hamba-Mu," bisiknya dengan amat pelan.

Butuh beberapa waktu yang lumayan lama sampai tubuhnya membaik. Kepalanya yang tadinya tertunduk pun mendongak. Kilat matanya penuh akan sesuatu yang disembunyikan. Arrio Kenzay Mahatma, seseorang yang pandai menutupi sesuatu. Bahkan, Ia menutupi penyakitnya pada semua orang dengan rapi tanpa menemukan jejak.

Bodohnya, Dia tetap bisa membuat semua orang yang Ia anggap keluarga serta orang yang menjadi prioritasnya bahagia dan baik-baik saja. Padahal, Arrio sendiri sedang merasakan sakit yang tak bisa diremehkan. Tapi yang namanya Arrio, laki-laki keras kepala yang tak suka perintahnya dibantah sekalipun itu pada Keyra dan Lynn, Dia tetap menutupi segala hal. Merasakan segala rasa sakit yang menderanya, sendirian.

Sebuah panggilan di ponselnya berbunyi. Ia segera merogoh benda pipih itu dari saku celana oblong yang Dia pakai. 'Princess♡', jelas itu Lynnara.

"Assalamu'alaikum, Kak. Gue ganggu nggak, nih?"

Sapaan salam penuh kehangatan dapat Arrio dengar dari indra pendengarannya. Arrio tersenyum lembut, "Wa'alaikumussalam. Buat Princess-nya Kak Arrio nggak ada kata mengganggu." Jawabnya dengan begitu lancar. Ia bahkan tertawa pelan dengan kata-katanya sendiri yang terkesan jelas jika Ia sudah menjadi budak cinta seorang Zelda Lynnara Ocean.

Lynn tersenyum manis dari sambungan telepon. Gadis itu bahkan membayangkan seperti apa ekspresi Arrio saat tertawa. Bahkan, suara tawa lelaki itu saja berhasil membuat jantungnya berdegup dengan menggila. Ia bahkan tak bisa percaya jika Lynn bisa sampai merasa setergantung itu pada laki-laki yang baru dikenalnya selama dua bulan lebih ini.

"Kakak kenapa? Kok suaranya lemas gitu? Kakak sakit?"

Arrio tertegun sejenak. Ia sedikit tak percaya jika Lynn sepeka itu padanya. Gadis itu bahkan tahu hanya dengan mendengar suaranya, terbukti dengan nada kekhawatiran dari sana. Kekhawatirannya bukanlah kepura-puraan. Arrio tahu itu. Sangat luar biasa dan pantas diberi apresiasi.

Mungkin hal itulah yang membuatnya semakin mencintai seorang Lynnara. Sifatnya yang peduli walau terkadang sedikit kasar, terkadang sifat lembut gadis itu muncul di saat-saat tertentu dan membuat Arrio melayang dibuatnya, bahkan suara serta tawa Lynn seakan sudah menjadi candu untuknya.

"Nggak pa-pa, Sayang. Cuma nggak enak badan aja, kok."

"Lo tetep kerja?"

"Nggak," Arrio reflek menggeleng walau Ia tahu Lynn tak bisa melihatnya. "Gua ambil libur."

Lynn menghela napas, "Video Call, Kak," katanya tegas.

Setelah itu, sambungan telepon berubah menjadi Video Call. Arrio dapat melihat Lynn yang sedang merebahkan diri di kasur dengam banyaknya kertas folio dan buku-buku materi. "Lagi ngerjain tugas, ya? Kenapa nggak dilanjutin, hm?" Laki-laki itu berusaha menahan gemas saat raut wajah Lynn memandang Dirinya dengan tatapan memelas. Rasanya Arrio ingin memeluk gadis itu erat dan menghirup wangi rambut perempuan itu seperti layaknya pasangan lain.

Virtual World : Six Month [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang