Semua harus diikhlaskan jika ada sesuatu yang tidak Kamu inginkan terjadi.
•••
Acasia melangkah cepat memasuki kamarnya dan mengunci serapat mungkin agar tak ada yang bisa masuk. Di rumah besar itu hanya ada Bodyguard, Asisten Rumah Tangga, dan Ophelia yang beristirahat di kamarnya. Ia membuka satu per satu laci yang tertutup dengan sebuah kunci. Tangannya gemetar dan sesekali Ia melirik ke segala arah, takut-takut jika ada yang mengawasi pergerakannya tanpa Ia ketahui.
Wanita itu mengumpat kesal, "Sial! Kemana, sih, Surat Tanah yang Mas Arhan selalu simpan? Perasaan Aku lihat kemarin masih ada di sini. Kok bisa udah nggak ada?"
"Kamu cari ini, Sia?"
Acasia segera membalikkan badan dengan sigap. Raut wajahnya dapat menunjukkan jika Ia syok dengan adanya Arhan di hadapannya. Suaminya ada di sana dengan menggenggam sebuah map biru berisi Surat Tanah beserta Warisan yang Ia cari dan Ia incar.
Arhan yang melihatnya pun tertawa pelan. Pria itu merasa lucu dengan apa yang terjadi saat ini. Istrinya yang sekarang. Dia selama ini berhasil memainkan perannya menjadi seorang isteri dan ibu yang baik untuk mengecoh semua orang. Hampir saja Ia mulai menerima jika Acasia adalah isterinya dan ada setitik rencana untuk membuat kebahagiaan baru tanpa ada bayang-bayang masa lalu keluarga kecilnya dahulu.
Tapi sepertinya itu tak bisa dilakukan.
"Mas Arhan?!"
"Kaget ada Saya di sini, huh?" Dia melangkah perlahan. Maju dengan aura intimidasi yang selalu membuat para bawahannya segan. "Udah berani ngeluarin taring, ya? Hebat juga Kamu. Siapa yang nyuruh Kamu buat nyuri berkas-berkas penting ini? Keluarga Kamu?"
Lidah Acasia begitu kelu. Tenggorokannya menjadi kering tanpa sebab dan mengakibatkan Ia tak bisa berbicara apa-apa selain dengan nada terbata-bata. "Mas Arhan, tolong dengerin Aku dulu. Mas salah-"
"Salah paham? Kamu pikir Saya bodoh, Sia?" Lengan kekarnya mencekal kedua tangan wanita itu dengan amat kencang sampai membuatnya merintih kesakitan. "Saya sudah biasa menghadapi pengkhianat-pengkhianat yang berkedok teman dan keluarga. Sama seperti Kamu."
"Sakit Mas. Tolong lepas," pintanya. Bibirnya bergetar ketakutan. Degup jantungnya tak berirama sesuai kenormalan seperti biasanya. Jelas, wanita itu takut. Ekspresi Arhan seperti akan membunuhnya saat ini juga.
Pria itu tak menghiraukannya. Dia malah semakin kencang mencengkram pergelangan tangan Acasia yang sudah terdengar retakan. Wanita itu bahkan sudah berteriak kesakitan dan menangis kencang dibuatnya.
Arhan menatap pahatan wajah isterinya dengan lekat. "Kamu nggak akan bisa dapetin surat-surat ini. Kamu nggak punya hak untuk itu dan cuma dua anak Saya aja yang bisa dapetin itu." Ia menghentikan ucapannya sejenak. Terlihat jika dibalik ekspresi kesakitan yang diperlihatkan oleh Acasia, Dia begitu marah. "Dan ini pertama dan terakhir kalinya Kamu melakukan itu karena Kita semua akan mati di sini. Rumah ini akan terbakar dalam beberapa menit lagi."
"Mas! Kamu gila? Maksud Kamu apa?!"
Acasia terperangah tak percaya. Rumah ini akan terbakar katanya? Maksudnya, rumah ini dengan sengaja akan dibakar? Tubuhnya pun semakin bergetar. Ia ketakutan. Dia sudah tak mempedulikan image-nya lagi seperti sebelumnya. Jelas, wanita itu marah. Ia berusaha untuk melepaskan diri walau terkesan sia-sia.
"Setidaknya dengan ini akan membuat rasa bersalah saya pada Arrio dan Keyra yang masa kecilnya terenggut oleh orang-orang berhati kotor karena harta di dalam keluarga ini." Pria itu tersenyum tipis. Bayangannya terpampang dua anak kecil yang tak tahu apa-apa sudah harus merasakan kejamnya kehidupan dan peliknya masalah warisan keluarga. "Sekaligus membumihanguskan orang-orang tidak tahu diri seperti kamu."
Tak berselang lama, suara teriakan meminta tolong dari lantai bawah terdengar. Dan Arhan dapat mendengar suara Ophelia dari banyaknya orang di sana. Mereka kesakitan. Mereka takut. Api besar mulai membakar seisi rumah di lantai satu dan perlahan mulai merambat ke lantai dua. Tepat dimana Arhan dan Acasia berada. Asap hitam melambung naik. Suara sirine mobil Pemadam Kebakaran terdengar di sepenjuru komplek perumahan elit itu.
•••
Brankar yang ditempati Arrio dibawa masuk ke dalam mobil Ambulance untuk dbawa ke Bandar Udara Internasional Dortheys Hiyo Eluay yang berada di Kota Sentani, Kabupaten Jayapura.
Stevan merangkul bahu Keyra yang hanya terdiam dengan tatapan kosong. Pria itu berusaha menenangkan gadis itu yang diterpa oleh berbagai persepsi buruk yang bisa saja terjadi. "Tenang aja. Abang Kamu pasti akan selamat. Percaya aja sama Dia."
"Apa harus dengan bohong ke Kak Lynn gini?" Keyra mengangkat wajahnya, menatap pahatan wajah Stevan yang merupakan blasteran Jerman, Indonesia, dan Arab Saudi. "Key nggak tega sama Dia, Om. Apalagi bohong sampai menyangkut nyawa Abang."
Stevan menghela napas pelan. Ia tersenyum tipis, "Itu demi kebaikannya sendiri. Om cuma nggak mau Dia berharap sama Arrio di keadaan yang nggak baik seperti sekarang. Om janji, saat Arrio sudah sembuh, Kamu ataupun Abangmu bisa ketemu Dia di sana. Om akan bantu ngejelasin semuanya." Ia berucap dengan tenang.
Ya, semoga saja rencana ini akan berhasil.
Erika yang sedari tadi terdiam dengan pikiran berkecamuk pun tersadar. Wanita itu menatap keduanya dengan bingung. "Lynn? Siapa Dia?" Tanyanya. Nama itu terasa asing untuknya.
"Cewek yang disukain sama Abang," jawab Keyra tanpa mengalihkan tatapan dari mobil Ambulance yang mulai menghilang dari pandangannya.
Ah, Erika ingat. Kejadian saat Arrio yang menolak perjodohan dirinya dengan Kanaya, rekan kerja keluarga. Wanita yang sudah berkeriput itu sendiri tak menyangka ternyata anaknya sesuka itu dengan anak SMA yang bahkan tidak Ia tahu wajah dan perawakannya secara nyata.
Dan omong-omong, sudah lama Ia tak tahu kabar Kanaya dan keluarganya. Mereka seakan hilang ditelan Bumi. Rumah Mereka sudah tak berpenghuni.
Di dalam mobil Ambulance, suara mesin EKG menjadi tanda jika Arrio masih bernapas dengan baik sampai saat ini. Tiga orang perawat laki-laki mengawasinya dengan ketat karena yang Mereka jaga merupakan pasien intensif. Laju mobil pun semakin cepat dan bunyi Ambulance terdengar di sepenjuru jalanan yang ramai.
Tanpa disadari oleh ketiganya, jemari Arrio bergerak pelan. Kelopak matanya terbuka sedikit. Laki-laki itu bisa melihat cahaya putih yang menyoroti matanya. Bibirnya terasa begitu kering. Pikirannya kosong. Ia hanya diam tanpa adanya respon lebih sebelum akhirnya menutup kelopak matanya kembali dan ketiga perawat itu yang menjadi panik saat angka di dalam mesin EKG menurun drastis.
Tinnnn....
Hampir saja. Sang sopir Ambulance menahan napasnya. Hampir saja Ia menabrak seorang gadis yang tak terlihat wajahnya. Gadis tak dikenal itu terlihat syok dan kemudian langsung berlari cepat dari jalanan ramai. Ia berlari melewati trotoar dan kemudian menghilang ditutupi oleh massa yang berjalan kaki.
"Wong edan!" Makinya dengan aksen Jawa fasih. Napas pria itu memburu. Jantungnya hampir saja copot dibuatnya.
Larinya begitu cepat. Ia bahkan tak peduli dengan berbagai makian yang dilemparkan orang-orang untuknya karena gadis itu tabraki begitu saja. Pikirannya kalut. Ia pun sampai di sebuah bangunan yang merupakan perusahaan besar. Terdapat garis polisi yang menjadi tanda jika perusahaan tersebut telah disita.
Perusahaan Orizell Group bangkrut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Virtual World : Six Month [ END ]
Teen Fiction••• "Kenapa Abang harus pergi? Key sendirian di sini, semua jahat!" - Keyra Estefania Mahatma "Kak, Lo bilang kalau Lo sayang Gue. Lo janji buat terus nemenin Gue. Tapi faktanya Lo bohong. Lo ninggalin Gue." - Zelda Lynnara Ocean "Aku cuma mau Kamu...