Mimpi ini seakan begitu nyata, sampai Aku pun sempat berpikir Kau akan pergi meninggalkanku sendirian.
•••
Keyra menggigit bibirnya kencang. Sesekali Ia memukul dadanya yang terasa amat sesak sekarang. Sudah beberapa waktu setelah kepergian Arrio yang masih menjadi traumanya untuk saat ini. Lidahnya terasa kelu untuk sekedar berucap satu dua patah kata. Namun perlakuannya langsung ditahan oleh seseorang, dan itu adalah Arrio.
"Kenapa Abang harus pergi? Key sendirian di sini, semua jahat!"
"Maaf ya, Sayang," Arrio hanya bisa menampilkan senyuman yang amat sendu. Ia memeluk sang adik dengan begitu erat, "Abang capek juga ternyata. Dan Abang nggak sekuat Key dan Lynn. Tapi, Abang percaya meski Abang nggak ada bareng Kalian berdua lagi di dunia dan secara nyata, Kalian punya Abang jauh di dalam hati kecil Kalian."
Keyra merasakan elusan sang kakak laki-lakinya dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti. Arrio pun segera menghapus air mata tersebut dan berkata dengan suara paling lembut yang sebelumnya belum pernah Keyra lihat sedikitpun. "Keyra sama Lynn itu princess terbaik Abang. Kalian harus lebih kuat dan hebat dari Abang, ya? Ingat, Abang selalu ada bareng Kalian selalu. Jadi, nggak boleh ngerasa putus asa."
Laki-laki itupun meletakkan kepala sang adik di atas bangku tadi dan berjalan menjauh. Tak lupa tangannya melambai dengan senyuman manis, "Tahun depan Kita ketemu lagi, ya. Inget, jangan bikin Lynn nangis. Kamu juga kuat-kuat di dunia, ya! Abang pamit!" Sosoknya pun kemudian menghilang ditelan kegelapan.
"ABANG!"
Kedua mata Keyra seketika membeliak. Ia terbangun dengan keringat dingin yang mengucur deras di keningnya. Bibir pucatnya menjadi pertanda jika mimpi yang Ia lihat kali ini amat buruk. Gadis itu ketakutan setengah mati. Pikiran negatif bermunculan di otaknya. Sampai akhirnya, Ia menoleh ke samping kiri dimana Arrio sedang terbaring di atas brankar.
Sedikit kelegaan baginya saat mesin EKG tidak menampilkan garis lurus seperti apa yang Ia takutkan. Tangan kecilnya menyentuh dan memegang erat tangan kekar sang kakak yang begitu dingin. Tangan yang selalu memeluknya untuk mencari kehangatan dan perlindungan, tangan yang selalu membantunya untuk kembali bangkit melawan segala masalah di dalam kehidupan yang kejam untuknya. Dia tak tahu apakah Ia mampu untuk bertahan jika Arrio benar-benar pergi meninggalkannya sendiri di dunia mengerikan ini.
Ruangan itu begitu lenggang. Hanya terdengar suara alat tanda kehidupan yang terpasang di bagian tubuh Arrio. Satu-satunya hal yang membuat Keyra selalu yakin kakaknya masih hidup.
Sudah tiga hari berlalu dan laki-laki itu belum juga sadarkan diri. Karena hal ini jugalah penyakit yang selama ini Dia sembunyikan pun terbongkar begitu saja. Gagal Jantung dan menjadi pasien Covid-19 yang sedang mengganas. Benar-benar tidak disangka oleh semua orang, termasuk Arhan dan Erika yang mendengar putera Mereka memiliki penyakit yang bisa merenggut nyawa seperti itu.
Saat ini Keyra mendapat bagian jenguk dengan memakai sebuah atribut khusus untuk mencegah gadis itu terkena wabah Corona karena berdekatan dengan pasien. Gadis itu menghembuskan napas berat, "Bang, Abang kapan bangun, sih? Key kangen sama Abang. Sakitnya jangan lama-lama," gumamnya begitu lirih sampai hanya bisa terdengar oleh dirinya sendiri dan udara. "Inget loh, Bang. Abang belum bayar utang ke Key. 378 ribu, loh."
Keyra menggembungkan pipinya. "Kalau Abang bangun, nggak usah bayar juga nggak pa-pa kok. Key juga ikhlas bakal nyuciin baju, sekalian jadi babu Abang. Tapi Abang harus bangun dulu. Terus nanti Kita kerja bareng-bareng and nabung biar bisa ketemu Kak Lynn deh." Gadis itu terus mengoceh. Sudut matanya mulai berair dan kemudian gadis itu pun terisak, "Bang, Key capek. Abang belum tahu kan kalau selama ini di sekolah Key selalu di-bully sama temen-temen? Key mau ceritain itu semua sama Abang sekarang. Jadi harus bangun."
Pintu kamar inap intensif yang ditempati Arrio pun terbuka. Di sana sudah ada Stevan yang berdiri dengan atribut pelindung sama sepertinya. Langkah sepatunya terdengar sampai membuat Keyra mau tak mau harus membalikkan tubuh. Ekspresi Keyra tak bisa dideskripsikan saat ayah tirinya muncul di hadapannya setelah sekian lama menghilang dari pengelihatannya selama beberapa minggu ini.
Lupakan saja. Lagipula gadis itu tak peduli.
Stevan mengamati wajah anak tirinya yang begitu sembab. Dapat pria itu pastikan Dia sehabis menangis di sini. Pipinya yang merah menandakan jika Dia menangis lumayan lama di ruangan ini. Dan pastinya, Keyra sempat tertidur saking lelahnya menangis di lengan kekar kakak laki-lakinya.
Entahlah. Sisi simpatinya muncul begitu saja melihat keadaan dua anak itu yang begitu kacau. Sesuatu yang seharusnya tidak dimiliki oleh anak-anak seumuran Mereka. Seharusnya Arrio sedang menjalani kuliah saat ini jika saja keadaan yang memungkinkan dan Keyra seharusnya tidak merasakan kehancuran keluarga di usia sebelia itu. Kedua anak yang menyimpan luka dan berusaha untuk saling menguatkan satu sama lain.
"Keyra, Kamu nggak mau makan dan istirahat dulu? Kamu udah jagain Arrio berjam-jam. Jangan sampai Kamu sakit."
Keyra menggubris ucapannya. Ia seakan bisu dan tuli saat itu juga. Fokusnya hanya terarah pada sang kakak yang belum membuka matanya. Lidahnya begitu kelu dan kerongkongannya sakit. Perasaannya pun tak bisa dijabarkan saat ini. Yang Ia pikirkan adalah hal terburuk jika Arrio benar-benar meninggalkannya. Faktanya, Arrio adalah penopang serta rumah satu-satunya yang Ia miliki.
"Key,"
"Om," gadis itu menyergah cepat ucapan paman sekaligus ayah tirinya saking kesalnya. "Mau Om apa sih sebenernya? Key nggak ngerti. Kalau Om cuma pengen dapetin harta keluarga Mama dengan nikahin Mama, please stop! Keluarga Key udah hancur, Om. Hancur! Nggak bisa diperbaikin lagi." Keyra berdiri dari kursi dan membalikkan badan. Netra tajamnya bertabrakan dengan netra kelam Stevan yang hanya bisa tertegun melihat keberanian gadis itu. Gelora api di matanya tak bisa disembunyikan. "Jujur aja, Key udah nggak berharap lebih soal keluarga Key yang harmonis. Karena nyatanya, itu cuma harapan yang nggak bisa terwujud sampai kapanpun buat anak broken home kayak Key dan Key sadar diri akan hal itu."
Tak ada tangis seperti biasanya setiap membahas hal ini. Hanya dadanya yang terasa begitu sesak. Dan Stevan amat mengetahui jika saat ini Keyra sedang berada di ambang emosional yang tidak stabil karena banyak hal yang membangkitkan sisi traumatis dalam dirinya. Takut kehilangan yang kesekian kali. Ketakutannya lebih mendominasi dan satu-satunya cara adalah meyakinkan serta menenangkannya jika segala pikiran buruk itu tidak akan pernah terjadi.
Stevan mengunci mulutnya rapat-rapat. Ia hanya melangkah perlahan dan merengkuh tubuh lemah gadis itu erat. Seketika tubuh Keyra menegang sempurna. Perasaan tak nyaman merasuki dadanya. Pikirannya menjadi kosong. Di satu sisi, Ia ingin sekali lepas dari pelukan ayah tirinya. Namun di sisi lain, perasaan menghangat terasa di dalam ulu hatinya yang terdalam. Bentroknya pro dan kontra membuat Keyra hanya bisa diam atas segala kedilemaannya.
"Kamu boleh benci Saya semau Kamu, Key. Itu hak Kamu sendiri. Tapi ingat, Kamu tidak pernah sendirian dan Arrio pasti baik-baik aja. Saya akan selalu berusaha melindungi Kalian dari jauh jika Kalian memang tidak nyaman dengan keberadaan Saya. Dan Saya lebih berharap bisa mendengarkan panggilan 'Ayah' dari Kalian suatu saat nanti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Virtual World : Six Month [ END ]
Teen Fiction••• "Kenapa Abang harus pergi? Key sendirian di sini, semua jahat!" - Keyra Estefania Mahatma "Kak, Lo bilang kalau Lo sayang Gue. Lo janji buat terus nemenin Gue. Tapi faktanya Lo bohong. Lo ninggalin Gue." - Zelda Lynnara Ocean "Aku cuma mau Kamu...