15. Arrio - Mencoba

21 2 0
                                    

Cinta memang abadi untuk pasangan yang  tepat. Hubungan itu tak akan pernah terlupakan sekalipun masa mulai terlewati.

•••

Acasia mengelus kepala Kanaya dengan lembut. Bibirnya terus mengeluarkan kalimat-kalimat menenangkan agar gadis berumur 19 tahun itu tidak menangis lagi di dekapannya. Di hadapan Mereka terdapat Ophelia yang justru terlihat begitu marah saat mendengar alasan dibalik menangisnya Kanaya.

"Benar-benar anak itu," geramnya. Kilat matanya dapat memperlihatkan jika wanita tua tersebut marah besar pada cucu laki-lakinya. "Seharusnya Aku tidak menuruti perkataan Gama dan cepat-cepat menikahkan Arrio dan Kanaya secepatnya. Kalau begini, jika Keluarga Orizell tahu yang sebenarnya terjadi, nama baik keluarga Mahatma akan hancur dan perusahaan akan jatuh. Aku harus melakukan sesuatu."

Ophelia tak habis pikir, mengapa cucu pertama dan keduanya begitu keras kepala untuk sekedar menuruti perkataannya sedari dulu. Dia dan Mereka berbeda, bukan selayaknya frasa dan klausa yang bisa menyantu membentuk berbagai jenis kalimat.

Terkhususnya untuk Arrio. Laki-laki keras kepala yang sialnya adalah cucunya sendiri. Padahal jika ditelaah lebih lanjut, Kanaya tidak seburuk yang dipikirkan. Malah,  Ia merasa jika gadis itu adalah sosok sempurna agar bisa bersanding bersama cucunya.

Namun itulah manusia. Terkadang, Mereka tak sadar jika apa yang Mereka lakukan berhasil melukai manusia lain. Dengan alasan demi kebaikan orang tersebut, Mereka melakukan sesuatu tanpa persetujuan seseorang yang harusnya diberi kesempatan untuk memberi jawaban serta pilihan.

Lagipula, itu hidup Mereka. Yang menjalankan kehidupan adalah Mereka sendiri, bukan orang lain. Lantas, mengapa Mereka selalu mengatakan seakan-akan benar-benar tahu apa yang lebih baik? Apakah Mereka Tuhan? Bahkan malaikat saja yang merupakan makhluk ciptaannya yang dikenal paling setia tidak mengetahui recana-Nya.

"Sakit, Aunty. Salah Naya apa sampai Arrio nggak mau nerima Naya?" Dia terisak, tubuhnya bergetar karena menangis. Acasia hanya bisa mengelus punggung gadis itu lembut.

Wanita muda itu pun berbisik pelan di telinga Kanaya, "Tenang, ya, semua bakal baik-baik aja. Arrio cuma butuh waktu, Sayang. Percaya deh sama Aunty, suatu saat Dia bakal cinta sama Kamu dan Kalian akan jadi pasangan yang fenomenal dan bahagia."

"Gimana Naya bisa tenang? Sedangkan di luar sana tunangan Naya sendiri lagi dekat sama cewek lain, Aunty! Dia bahkan ngakuin di depan teman-temannya dan Naya kalau Dia cinta banget sama cewek itu. Dan, Aunty harus tahu, Arrio selalu bilang sama Naya. Naya itu cuma pemuas nafsu Dia. Gimana Naya nggak sakit hati dengernya?"

Sisi emosional Kanaya terus meletus selayaknya sebuah gunung vulkanik aktif yang sedang menyemburkan lava panas yang siap membakar serta melahap apa saja dihadapannya. Sulit untuk memadamkannya karena sudah terlalu lama terpendam di dalam raga yang sesak.

Nyatanya, perempuan mana yang rela jika tunangannya malah mencintai perempuan lain yang bahkan belum pernah laki-laki itu temui secara langsung? Tentu tidak ada, bukan?

Acasia terbelalak kaget. Dia melepaskan rengkuhannya dan menatap Kanaya, butuh penjelasan lebih lanjut dari sang empu. "Kamu serius, Sayang? Atau, Arrio cuma bercanda aja kali sama Kamu biar Kamu mundur aja."

Kanaya menggeleng lemah, "Naya nggak bohong, Aunty." Ia menggigit bibir, berusaha menahan isakannya yang masih belum bisa dikendalikan dengan baik. "Naya denger dengan jelas, bahkan teman-temannya dan Keyra aja tahu."

"Udah pinter ngadu sama ngancem, ya, sekarang?"

•••

Princess 3<
Online

Virtual World : Six Month [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang