32. Lynn - Luka Terhebat

22 2 0
                                    

Semua boleh berharap. Namun, realita adalah jawabannya.

•••


Malam sudah larut dan seluruh anggota keluarga di rumahnya telah tertidur pulas dan nyaman di kamar masing-masing dengan balutan selimut yang menghangatkan tubuh. Begitu sunyi dan hanya suara kendaraan yang sesekali berlalu lalang di jalanan sana.

Berbeda dengan Lynn yang masih terisak dengan amat lirih agar tak ada yang mengetahui jika Ia sedang menangis. Tangannya mencengkram bed cover kasur. Bantalnya telah basah oleh air mata yang jatuh tiada habisnya. Entah sampai kapan ini akan terus terjadi.

"Kak, Gue kangen..."

Seakan tak pernah bosan, gadis itu terus saja memberitahu pada langit malam serta teman-temannya jika Ia tak baik-baik saja. Bahkan, semakin hancur. Hatinya masih terluka dan ingatan akan meninggalnya Arrio masih menjadi trauma terhebat untuknya.

Ksatria-Nya telah gugur.

Sudah hampir sebulan berlalu semenjak Arrio dinyatakan meninggal dunia, seketika dunia Lynn terasa hampa. Segala ingatan tentang Mereka berdua terus menghantuinya. Entah Ia harus bersyukur atau malah tersiksa dengan hadirnya berbagai kenangan Mereka. Begitu menyesakkan jika diingat. Ditambah lagi, Dia tak bisa datang untuk menghadiri pemakaman lelaki itu karena jarak dan juga keadaan.

Lynn membalikkan badan. Indera pengelihatannya mengamati langit-langit kamar yang gelap tanpa diterangi lampu ataupun cahaya di langit malam. Dadanya teramat sakit. "Kak, boleh Gue nyusul Lo aja? Biar sekalian bisa ketemu Kakek juga. Gue bisa gila di sini tanpa Lo," lirihnya dengan nada suara yang amat pelan disertai air mata yang mengalir terus-menerus. Gadis itu bahkan tak peduli jika nanti akan ditanyai mengapa wajahnya sembab.

Ia hanya ingin meluapkan kesedihan serta rasa dukanya. Itu saja.

"Kak, Lo bilang kalau Lo sayang Gue. Lo janji buat terus nemenin Gue. Tapi faktanya Lo bohong. Lo ninggalin Gue."

"Gue udah bales perasaan Lo. Tapi kenapa Lo masih berniat pergi? Gue salah apa sama Lo? Lo selalu nyuruh Gue bertahan, nyatanya Lo pergi. Lo banci, Kak."

"Bodohnya Gue nggak bisa benci sama Lo ataupun keadaan. Terus Gue harus gimana tanpa Lo setelah ini?"

Tak lama kemudian, sudut matanya mulai terasa berat. Gadis itu perlahan memejamkan kedua matanya. Napasnya mulai teratur. Tanda jika Lynn telah berada di alam bawah sadarnya.

•••

Serra menghembuskan napas pelan. Pikirannya bercabang kemana-mana. Tatapannya terkunci ke arah seorang siswi yang sedang bermain basket di lapangan bersama anggota timnya di lapangan basket sekolah yang diterangi cahaya lampu yang menyala. Mereka bermain secara gila-gilaan tanpa istirahat.

"Dia nggak capek apa, ya, latihan berjam-jam gini? Berhenti cuma buat sholat sama minum air putih. Nggak waras emang," komentarnya. Kedua tangannya menyilang di dada.

Duta yang ikut melihat Lynn pun berdehem pelan. Kedua tangannya Ia sembunyikan di saku celana. Tatapannya tak bisa diartikan saat Ia bisa melihat wajah gadis itu begitu sembab walau samar. "Dia abis nangis?" Lelaki itu bermonolog dengan dirinya sendiri. Dia menajamkan pengelihatannya. Dan benar saja, tebakannya benar.

Serra berdiri dari duduknya di tribun yang sepi. Hanya Mereka berdua yang tersisa di sana. Setelah keduanya melakukan rapat OSIS di ruang OSIS bersama pembina sampai sore, Duta maupun Serra memutuskan untuk menonton latihan basket puteri di lapangan basket indoor. Raut wajah gadis itu sama seperti Duta. Tak bisa dijabarkan dan khawatir.

"Pasti ada yang nggak beres. El itu jarang banget nangis sampai mukanya kelihatan sembab kayak gitu," tuturnya. Ia hampir saja ingin mendatangi lapangan jika saja Duta tidak menahan pergelangan temannya itu yang sudah dilanda kekhawatiran.

"Jangan," larangnya. "El pasti nggak akan nyaman kalau Lo sok akrab sama Dia sekarang. Apalagi nanyain soal privasi kenapa muka Dia sembab. Sekalipun Kita pernah deket sama Dia pas SMP, tapi jangan lupa kalau Dia punya amnesia. Mungkin sekarang Dia inget Kita berdua, tapi tetap aja rasa canggung itu masih ada."

Serra mengerutkan kening tak setuju. Dia berusaha melepaskan cengkraman Duta di pergelangan tangannya. "Terus gimana? Kita cuma lihat Dia dari jauh kayak gini terus gitu maksud Lo? No! Gue nggak bisa! El butuh penguat saat ini, Ta! Dia butuh temen cerita!" Dia terus memberontak dengan teramat kesal.

"Diem atau Gua seret Lo dari sini!"

Suara gesekan antara lantai dan sepatu terdengar memekakkan telinga. Suara tanda bola masuk dari ring menjadikan semangat tim basket puteri yang sudah dibagi menjadi dua tim untuk terus mengejar angka sebanyak-banyaknya agar menjadi pemenang.

Salma mengangkat tangannya, "Time out!" Teriaknya pertanda meminta pergantian pemain. Posisinya sebagai center segera digantikan oleh Liodra. Permainan pun dilanjutkan.

Rindya melemparkan bola ke arah Nabila dan disambut rebutan oleh Khalila selaku tim lawan. Permainan semakin panas. Bola memantul dan kemudian Gisel melempar bola ke ring walau berakhir meleset, namun segera dialihkan oleh Lynn selaku point guard. Dia pun menargetkan bolanya ke arah Sabrina yang sudah menunggu di titik tembak three point.

Bola pun melambung ke atas dan dengan mudah disambut olehnya. Sabrina segera melakukan lemparan three point dan masuk dengan mulus. Suara sorakan penuh kepuasan terdengar di tim Sabrina dan berbagai keluhan terlontar di tim lawan. Lynn tersenyum membalas senyuman sumringah gadis itu.

Setelah permainan dinyatakan selesai, semua anggota tim basket puteri mulai membersihkan diri di kloset yang memang disediakan dari pihak sekolah. Lynn membuka pintu kamar ganti dan mendapati Ayana yang sudah berdiri di hadapannya. Raut wajahnya begitu suram.

Salah satu alis Lynn terangkat, "Kenapa?"

Ayana berdecih. Gadis itu memalingkan wajah sejenak sebelum akhirnya menatap Lynn tajam. "Lo nggak capek jadi primadona? Mau di SMP ataupun SMA, kenapa banyak orang suka sama Lo? Lo tahu, karena adanya Lo di sini ngebuat Gue jadi nggak bisa eksis di SMANSA!" Ungkapnya dengan emosional. Kedua tangannya terkepal.

Lynn yang mengamatinya pun hanya bisa menghela napas pelan. Ia melewati Ayana begitu saja agar bisa membuka pintu loker yang berisi pakaian bersih dan tas yang Ia simpan di sana.

Sembari menata baju latihan di dalam tas, Ia pun berujar dengan nada santai. "Gue nggak pernah ngerasa jadi primadona di sekolah manapun. Kalau Lo ngerasa tersaingi dan terintimidasi dengan adanya Gue, harusnya Lo terus ningkatin value biar bisa ngalahin Gue. Bukannya ngeluh dan malah ngelabrak Gue di sini." Ia membalikkan tubuh. Ayana tertegun saat Ia tak melihat emosi apapun di mata gadis itu. Begitu kosong. "Setidaknya ada yang harus Lo syukuri. Mental Lo sehat."

Setelah mengatakan hal tersebut, punggung Lynn menghilang dari pandangan Ayana. Gadis itu masih speechless dengan apa yang dikatakan oleh teman yang selama ini Ia anggap saingan selama bertahun-tahun. Tubuhnya kaku dan tak tahu harus merespon seperti apa.

"Mental sehat?" Ia bergumam pelan. Reflek, Ia mengangkat kepalanya yang sempat tertunduk. Gadis itu mengalihkan pandangan pada sebuah tablet obat dan sebuah silet kecil yang tertinggal di sana. Dia melangkah perlahan dan mengambilnya. Ia membacanya dan termenung sesaat. "Obat penenang dan anti-depresi? Silet?"

Virtual World : Six Month [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang