Layaknya Bunga Water Hemlock, Dia memang tidak berbahaya saat disentuh. Namun saat dikonsumsi, kematian adalah jawabannya.
•••
Retina mata perempuan dengan setelan seragam batik khas SMANSA melihat pemandangan yang berhasil membuat sesuatu dalam dirinya teriris. Entah apa. Dia tak mengerti. Dia mengamati seorang anak perempuan yang dipeluk oleh ibunya dengan membawa piala yang merupakan pemenang juara dua Olimpiade hari ini. Entah di mata pelajaran apa, Lynn tak tahu menahu soal itu.
"Hebat banget anaknya Bunda. Nanti pialanya Kita pajang di ruang tamu, ya."
"Bunda emangnya nggak marah kalau Tisha cuma dapet juara dua?"
"Nggak pa-pa dong! Juara dua aja udah hebat, tinggal nanti Kamu tingkatin lagi biar jadi yang terhebat dari yang terhebat. Okay, Princess?"
"Okay!"
Entahlah. Indra pendengarannya terasa panas. Dadanya terasa sesak dan hatinya seakan digores oleh benda tajam berkali-kali tanpa membiarkan Lynn untuk mati. Batinnya tersiksa. Gadis itu berusaha untuk menahan segala keirian dan ketidakterimaan dalam dirinya yang entah sejak kapan telah hadir.
Lynn tertawa hambar. "Bego Lo, Lynn. Suka banget cari penyakit," makinya pada diri sendiri. Perempuan dengan seragam sekolahnya itu pun memutuskan untuk berbalik badan, pergi dari sana meninggalkan sekumpulan orang yang sedang berbahagia maupun bersedih di sekitarnya.
Seorang gadis dengan pakaian batik khas SMANSA yang sama dengannya sedari tadi mengamati Lynn dalam diam. Ekspresinya tak bisa diartikan. Ia memegang sebuah piala penghargaan karena mendapat juara umum pertama di bidang Biologi. Perasaan rindu dan sedih dalam dirinya meronta, memaksa agar Dia pergi ke sana, berlari sekencang mungkin dan memeluk perempuan yang pastinya sedang terpuruk saat ini.
"Lama nggak ketemu, Lynnara."
•••
"Gimana hari ini? Olimpiadenya lancar?"
Lynn terdiam sejenak saat menyadari sang ayah yang membuka pintu rumah dengan salah satu alis terangkat. Gavin mengamati puterinya dengan lekat saat Lynn lekas melepaskan sepatu serta kaos kaki putihnya dan melewati dirinya begitu saja di ruang tamu.
"Lancar, cuma ada beberapa soal yang El nggak tahu jawabannya. Kayaknya sebagian soal itu masuk ke pelajaran kelas sebelas," jawabnya tanpa ekspresi seperti biasanya. Benar-benar salinan Gavin versi perempuan dalam hal kepribadian.
Semua orang banyak bilang, Zelda Lynnara Ocean memiliki wajah yang mirip seperti Ayunda saat muda dan kepribadian yang selayaknya salinan dari Gavin. Berbeda dengan Avva yang memang seperti Ayunda kecil. Dari wajah sampai sifat sangatlah mirip seperti sang ibu. Mungkin itulah yang membuat Lynn selalu berbeda pendapat dengan sang ibu. Entah sampai kapan hal itu akan berakhir.
Gavin mengangguk paham. "Ya udah, makan dulu tuh Nasi Gorengnya. Ayah udah masak tadi. Kalau kurang, ambil aja di dapur." Perkataan pria yang masih menggunakan seragam kerjanya dengan memegang sebuah gitar membuat Lynn hanya memberikan deheman singkat.
Di dalam pikirannya yang selalu penuh, dengan terkuncinya mulut tanpa ingin melemparkan segala keluhan serta pertanyaan, ingin sekali Lynn menanyakan pada takdir. Kenapa dirinya berbeda? Di saat anak dari keluarga lain bisa merasakan perhatian seorang ibu, kenapa dirinya tidak bisa? Padahal, Ayunda bukanlah seorang wanita karir semenjak memutuskan untuk pensiun dini dan mengikuti suaminya untuk dinas ke berbagai daerah di Indonesia saat usia Lynn masih tiga tahun.
Dia iri. Begitu iri dengan anak lain yang bisa mendapatkan pelukan hangat ibunya. Dia iri dengan anak yang memiliki ibu yang begitu lembut dan menjadi sandarannya di keadaan apapun. Dia iri saat anak lainnya bisa merasakan masakan ibu Mereka. Tapi kenapa, kenapa Lynn tidak bisa mendapatkannya? Kenapa Ayunda begitu keras padanya?
Sesulit itukah Ayunda untuk sekedar membuatkan sarapan, makan siang, dan makan malam tanpa harus membeli dari luar? Gadis remaja itu memang tahu pekerjaan rumah memang melelahkan, tapi bukankah Lynn mempunyai hak untuk mendapatkan perhatian kecil dari wanita itu?
Kenapa Dia harus dididik dengan keras? Apakah karena Ia adalah anak pertama dan harapan pertama keluarganya? Tapi, apakah Mereka sadar, Lynn tak meminta untuk dilahirkan menjadi anak sulung. Sama sekali tidak. Dan haruskah Mereka meminta jawaban darinya, kenapa Dia bersikap keras pada dirinya sendiri dan orang lain termasuk orangtuanya sendiri? Tak sadarkah Mereka jika itu adalah hasil dari apa yang Mereka tanam selama ini?
"Mama mana, Yah?" Tanyanya seraya menyuapkan Nasi Goreng ke mulutnya sendiri. Ia mengunyahnya dengan nikmat sembari menonton kartun Spongebob Squarepants dari layar Televisi. Tak heran Ia bertanya seperti itu, nyatanya rumah ini begitu sepi tanpa ada suara lengkingan Avva seperti biasanya yang selalu membuat Lynn kesal.
Gavin menjawab pertanyaan anak sulungnya itu, namun tatapannya tak sekalipun absen dari benda pipih di pegangan tangannya. "Mama Kamu lagi ada urusan di kantor. Bentar lagi Ayah juga ke sana karena ada rapat juga. Avva juga ikut. Kamu di rumah aja, ya? Uang simpanan yang Ayah kasih masih ada kan sampai malam nanti? Kalau laper cari aja makan di luar kayak biasa."
Lidah Lynn terasa kelu untuk sekedar membalas ataupun memprotes ucapan Gavin. Rasanya teramat sia-sia. Karena nyatanya, Mereka selalu meminta Lynn untuk mengerti tanpa ingin mengerti balik anak Mereka sendiri.
"Kamu udah besar, El. Harusnya Kamu udah paham, Ayah sama Mama sibuk belakangan ini karena Ayah udah naik pangkat jadi ketua. Nggak bisa di rumah setiap saat kayak sebelumnya. Ada tanggung jawab yang harus Kami emban selain ngurus Kamu dan Avva."
"Kamu harus ngerti, El. Adek Kamu masih kecil. Belum ngerti apa-apa. Maklumin, ya? Dan seharusnya Kamu sebagai kakaknya harus bisa menegur Avva untuk sesuatu yang salah, bukan malah ngebiarin gitu aja."
Perhatian sangat sedikit yang Lynn dapatkan sejak kecil semakin terenggut sejak kedatangan Avva. Dia semakin tersingkirkan. Emosi Ayunda semakin tak stabil semenjak melahirkan adik perempuannya. Pertengkaran demi pertengkaran yang dilakukan orangtuanya di hadapannya semenjak Ayunda hamil besar bahkan sampai sekarang seakan sudah menjadi makanan sehari-harinya.
Setiap tuduhan dan kesalahan yang bahkan bukan Ia perbuat selalu mengarah padanya. Dan Ia kecewa. Begitu kecewa karena yang melakukan hal itu adalah ibunya sendiri. Lynn kecil ketakutan. Tapi Mereka tak ingin berhenti. Mereka terus melakukannya sampai Ia beranjak remaja seperti saat ini.
Dahulu, Ia akan berlindung di pelukan Adam Revalino, kakek dari pihak ibunya yang Ia sayangi. Namun sekarang tidak bisa karena pria tua itu sudah memiliki banyak cucu selain dirinya dan sepupu laki-lakinya, Arnius Ranajaya Arkatama. Lagi-lagi gadis itu tersingkirkan oleh penerus baru keluarga yang menjabat sebagai para sepupunya.
Dan semakin lama, sikap Gavin berubah. Lynn sangat menyadarinya. Semakin lama, orang-orang yang Ia harapkan selalu kehadirannya untuk menjadi sandaran telah pergi meninggalkannya sendiri. Ia jatuh dan bangun sendirian tanpa ada yang menoleh untuk sekedar mengulurkan tangan.
Dia lelah berharap. Dia juga lelah untuk sekedar mendengarkan segala omong kosong dari berbagai pihak yang mencoba untuk meyakinkannya jika Dia tak sendiri. Cukup. Dia lelah berharap pada manusia. Dia lelah untuk segala hal di dunia ini.
Tak sadarkah Mereka jika gadis itu sudah menyerah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Virtual World : Six Month [ END ]
Novela Juvenil••• "Kenapa Abang harus pergi? Key sendirian di sini, semua jahat!" - Keyra Estefania Mahatma "Kak, Lo bilang kalau Lo sayang Gue. Lo janji buat terus nemenin Gue. Tapi faktanya Lo bohong. Lo ninggalin Gue." - Zelda Lynnara Ocean "Aku cuma mau Kamu...