Jika keadilan hanyalah sebuah candaan untukmu, maka kamu tak pantas untuk disebut manusia.
•••
"Siapa?""Tujuh orang baju tuxedo."
Wanita bernama Gabriel itu pun tersenyum miring penuh arti, "Oke. Tunggu di sini sebentar."
Dia pun mulai memberi kode dengan salah satu tangannya pada seorang rekan kerjanya di kelab ini. Mereka pun saling mengangguk dalam. Pria yang memiliki tatoo mawar di lehernya itu pun mulai berseru pada sekumpulan orang yang terlihat amat mencolok untuk orang-orang yang menjadi pelanggan di kelab malam ini. Sebagian besar dari Mereka menggunakan pakaian santai, bahkan sampai ada yang terbuka. Dan ketujuh orang itu menggunakan Tuxedo hitam rapi.
"Yo, brader! Bisa Kita bicara empat mata?" Gilang yang merasa seruan itu ditujukan untuknya pun menoleh. Keningnya pun mengerut samar. Hal itu membuat Regas tak sabar melakukan aksinya malam ini. "Iya! Lo yang di sana! Gua mau ngobrol sama Lo!" Teriaknya keras diselingi dentuman musik yang memekakkan telinga.
Gilang memicingkan mata penuh kecurigaan. Tanda waspada muncul saat seorang pria tak dikenal penuh tatoo dan jelas merupakan salah satu bartender di kelab ini mulai mendatangi Mereka bertujuh. Laki-laki itu pun menampilkan seringai tipis. Baik, sepertinya ini akan semakin menarik.
•••
"Baik, persidangan kali ini ditutup. Dipersilahkan untuk keluar dari ruangan dengan tertata dan tidak mengundang kegaduhan."
Satu per satu penonton sidang terbuka mulai keluar. Berbagai macam ekspresi tampil di wajah Mereka. Ada yang merasa puas, senang, kecewa, dan berbagai ekspresi lainnya. Salah satunya adalah pria yang memakai baju toga hakim dengan membawa sebuah berkas besar di tangannya.
Gavin pun memasuki ruangan dan menutup pintu. Ia meletakkan berkas berwarna biru tersebut di meja kerjanya dan duduk di sofa untuk meredakan penat sejenak setelah mengurus tindak perdata yang menggunung hari ini.
Ruangan Ketua Pengadilan Negeri di kota ini begitu lenggang. Hanya ada dirinya sendiri dengan segelas kopi yang selalu siap sedia menemani waktunya untuk mengerjakan segala pekerjaan yang tak pernah habis. Di sisi meja terdapat foto Gavin bersama keluarga kecil yang selalu membuatnya bersemangat untuk banting tulang menghidupi keluarganya.
Di tengah keadaan tenangnya, suara ketukan pintu mengalihkan segala perhatian. Gavin menghela napas pelan. Seperti biasa, para hakim anggota maupun calon hakim yang bergender laki-laki selalu datang ke ruangannya setiap jam istirahat untuk berbincang ringan dengan segelas kopi. Walau terdengar sepele, namun hal itulah yang membuat hubungan antara atasan dan bawahan semakin erat.
Rangga menyeruput kopinya dan kemudian membalas perkataan Sebastian dengan heboh. "Beneran deh, Pak. Saya hampir aja jantungan pas pelaku tiba-tiba nodongin pistol. Apalagi tadi ada beberapa wartawan yang pasti ngambil kesempatan buat rekaman," keluhnya.
"Duh, yang ada makin ribet kalau gitu.
Bisa-bisa nama kantor terseret," tutur Kaivan dengan mimik wajah yang keruh.Radit yang memang pada dasarnya cuek pun hanya mengangkat bahu, "Ya mau gimana lagi? Kalaupun Kita bungkam, itu sia-sia. Mereka dilindungi Undang-Undang yang masih berlaku."
Benar. Terkadang Undang-Undang menyulitkan pergerakan. Kadang pula Undang-Undang itu sendiri bisa menyelamatkan. Hanya bagaimana cara manusia mencari peluang dari hal tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Virtual World : Six Month [ END ]
Teen Fiction••• "Kenapa Abang harus pergi? Key sendirian di sini, semua jahat!" - Keyra Estefania Mahatma "Kak, Lo bilang kalau Lo sayang Gue. Lo janji buat terus nemenin Gue. Tapi faktanya Lo bohong. Lo ninggalin Gue." - Zelda Lynnara Ocean "Aku cuma mau Kamu...