13. Arrio - Bergerak

19 4 0
                                    

Bukti jika tak selamanya laki-laki saja yang bisa memimpin sebuah perang adalah sosok wanita yang merupakan pedang Allah, Khaulah binti Azur.

•••

"Aku nggak mau tahu, Ar! Kamu bisa nggak sih ngehargain kerja keras Aku sedikit aja? Aku udah capek-capek buatin bekal buat Kamu dan pergi ke Kafe, tapi ternyata Kamu malah nggak ada."

"Apa Gua pernah nyuruh Lo untuk buatin Gua bekal? Nay, Lo sendiri yang pengen, bukan Gua."

"Tapi apa Kamu nggak bisa ngehargain Aku sedikit aja, Ar? Aku tunangan Kamu!"

Perdebatan keduanya mengundang minat teman-teman setongkrongan Arrio yang memang hanya menyimak seakan tak terusik dan menganggap itu adalah sebuah pertunjukan menarik yang sering sekali Mereka lihat pada pasangan seperti Mereka. Yang satu mencintai dengan tulus, yang satunya lagi tidak pernah menganggap Dia ada dan malah mencintai orang lain. Miris.

Karla, pacar dari Regan, menghembuskan napas lelah. Ia menyenderkan kepala di dada laki-laki itu. "Nay, Lo nggak capek gini terus? Ngejar-ngejar Arrio kayak orang gila? Gue aja yang lihatnya capek," tatapannya begitu lekat. "Jangan ngerendahin derajat Lo sebagai perempuan bisa nggak, sih? Harga diri Lo mana?"

"Nggak usah ikut campur!"

Karla dan Zee tersentak. Ekspresi Zee yang tahu jika temannya dibentak pun berubah kesal. "Heh, Kaleng Rombeng! Bestie Gue ngomong sama Lo baik-baik malah Lo bentak. Lagian, Lo siapa sih sampai sok-sokan bisa nyuruh semua orang sesuai kemauan Lo? Inget, Lo bukan Tuhan! Lo cuma anak manja yang selalu berlindung di ketek keluarga Lo. Sia-sia Lo jadi anak cerdas, tapi kelakuan Lo nggak ada attidute sama sekali. Malu dikit ama bocah TK, woy!" Balasnya penuh emosi. Gadis itu bahkan sudah berdiri dari tempat duduknya dan menunjuk wajah Kanaya yang juga tak terima.

Yudha segera menahan Zee selaku pacarnya, "Yang, sabar." Bujuknya seraya berusaha membuat Zee kembali duduk dengan tenang.

Zee berdecih, "Makin nggak suka Gue sama tuh cewek. Bener, kan, masih mending si Lynn daripada tunangan temen Lo yang kelakuannya spek anjing jalanan. Miris."

"Bangsat Lo!"

Di saat Kanaya ingin mendekat, memberi pelajaran pada gadis kurang ajar di hadapannya, sebuah tarikan kasar dari belakang membuatnya mundur dan hampir tersungkur di tanah. Napas perempuan itu memburu karena marah, tak terima jika dirinya direndahkan dengan sebegitunya. Apalagi, ternyata yang menarik kerah bajunya adalah tunangannya sendiri yang sudah marah, bahkan lebih ke arah muak melihat wajahnya saat ini.

"Nggak usah lebay, deh, Lo jadi cewek. Dan Lo nggak perlu sok marah dan tersakiti gitu. Kelakuan Lo itu fakta dari apa yang dibilangin sama Karla." Ucapan meremehkan terlempar dengan mudahnya dari mulut Arrio tanpa mempedulikan Kanaya yang matanya sudah berkaca-kaca. "Lo murahan, Nay."

Air mata Kanaya seketika luruh. Kedua tangannya mengepal sampai memutih. Sakit hati Ia rasakan begitu dalam, apalagi yang mengatakan hal tersebut adalah laki-laki yang dicintainya. "Salah kalau Aku mau dekat sama tunangan Aku sendiri? Apa dengan ngejar laki-laki yang sebentar lagi akan jadi suami Aku namanya murahan? AKU CUMA NGEJAR KAMU, ARRIO!" Tubuh Kanaya melemas, "Aku cuma mau Kamu buka hati buat Aku. Apa sesusah itu?"

Arrio menatap Kanaya penuh arti. Kedua tangannya Ia masukkan ke dalam saku celana. "Apa Gua harus mecahin kepala Lo di tembok biar paham?" Dia melangkah dengam pelan namun pasti. Ia menundukkan kepala, netranya bertabrakan dengan retina mata Kanaya yang bergetar. "Apa sesusah itu Lo paham kalau Gua nggak akan pernah punya rasa cinta sama Lo?"

Cinta. Sebuah rasa yang begitu rumit jika dijabarkan. Namun, banyak orang selalu berkata jika cinta adalah sebuah rasa yang memiliki dua pandangan berbeda. Cinta yang indah atau cinta yang penuh tragedi. Rasa yang menjadi obat atau rasa yang menjadi sebuah penyakit mematikan untuk seseorang. Ketahuilah, rasa cinta itu rumit.

Perempuan berumur 19 tahun itu pun memilih pergi dalam keterbungkaman. Dia membawa perasaan sakit hati dan rasa sesak di dalam dadanya. Air matanya bahkan sudah tak terhitung untuk terus jatuh, megalir begitu saja dari pelupuk matanya. Dan semua orang di sana hanya memilih membiarkan, Mereka menganggap jika kejadian beberapa menit lalu tak pernah ada.

Di sisi lain, Kanaya memasuki mobil berwarna hitam miliknya dan melajukan kendaraan tersebut di jalanan Jayapura yang penuh akan genangan air karena hujan beberapa waktu lalu. Gadis itu membiarkan jendela mobil terbuka dan udara dingin membuat bulu kuduknya sesekali berdiri karema kedinginan. Tapi Dia tak peduli.

"Gue cinta sama Arrio. Dan Dia harus cinta sama Gue juga. Harus."

•••

Ophelia, Acasia, dan Erika terlihat sedang berbincang di taman belakang rumah. Sang kepala keluarga di dalam lingkup keluarga Mahatma menyesap teh di dalam cangkir dengan nikmat. Di sekitarnya terdapat beberapa pelayan keluarga yang berdiri dengan tubuh tegap dan kepala yang selalu menunduk ke bawah tanpa sedikitpun berani untuk mendongak dan menatap tiga nyonya besar yang menguasai rumah tersebut.

Erika mengamati sekitar taman. Tatapannya jelas berusaha untuk menutupi segala luka masa lalu atas perlakuan ibu mertuanya. Ditambah saat melihat kedekatan antara Ophelia dan Acasia semakin membuat wanita tersebut merasakan nyeri di dada. Bagaimanapun, sebuah luka lama yang berusaha ditutupi tak akan dengan mudah tertutup dengan sempurna. Sekalipun kejadian kelam itu sudah bertahun-tahun lalu, luka tersebut seakan masih basah dan sulit untuk mengering.

"Bagaimana keadaan Ezra?"

Faezra Davendra Mahara, putera dari Arhan dan Acasia yang baru menginjak satu tahun. Anak laki-laki yang aktif dan menjadi cucu kesayangan Ophelia. Kehidupannya penuh akan kasih sayang dan harta yang melimpah. Sangat berbeda dengan dua saudara tirinya yang lain, Arrio dan Keyra, yang penuh akan tekanan dan masalah yang terus menerjang.

Acasia menelan kue kering yang baru saja Ia kunyah. Sebuah senyuman manis seakan tak pernah luntur dari ekspresi wanita itu. "Baik kok, Ma. Beberapa waktu ini Ezra udah bisa jalan satu dua langkah." Ia menjawab dengam penuh semangat. Ada kebanggaan tersendiri saat mengatakan hal tersebut, tak lupa Ia melirik Erika yang hanya diam membisu tanpa sedikitpun terusik oleh tatapan remeh yang dilemparkan secara tersembunyi untuknya.

"Erika," suara berat yang mengalun mengalihkan atensi ketiga wanita yang sibuk berbincang. Ah, lebih tepatnya berusaha untuk memojokkan wanita berambut pirang itu. Dia Stevan, sepupu dari Arhan sekaligus menjadi suaminya yang sekarang. "Ada yang harus Kita bicarakan."

Acasia yang tahu kehadiran Stevan pun berdiri, diikuti Ophelia yang menatap penuh sanksi pada keponakannya. "Eh, Mas Stevan. Ada apa, ya?" Tanyanya, tatapannya begitu minat pada sosok bertubuh atletis di hadapannya. Sayang, pria itu tak mempedulikan sapaan istri dari sepupu bodohnya itu.

Erika yang paham pun mengangguk pelan, "Oh, bisa. Sebentar."

"Stevanio, Kamu tidak ingin menyapa Tante dan ipar Kamu? Apa kesopananmu pada orangtua sudah termakan waktu?" Sindiran Ophelia sama sekali tidak terpengaruh. Stevam tetap diam dengan netra yang tak pernah sedikitpun teralih pada sosok istrinya yang berdiri dan membersihkan bagian dress bawahnya yang kotor karena remahan kue kering.

"Stevanio!"

"Maaf, Tante. Tapi Stevan dan Erika harus pergi sekarang. Ada urusan penting."

Kedua pasutri itu pergi meninggalkan Ophelia dan Acasia yang hanya bisa menatap punggung keduanya dalam diam. Lengan Stevan merangkul bahu istrinya dengan erat. Pria itu mendekatkan wajahnya di telinga Erika dan berujar pelan, "Tidak perlu mencari penyakit baru. Ada Saya yang selalu ada untuk Kamu."

Ophelia berdecak, "Benar-benar anak itu. Tidak suaminya, istrinya juga sama saja. Tidak sia-sia Aku menyuruh Arhan bercerai dengan wanita tidak tahu sopan santun dan tak memiliki tata krama sepertinya." Ia mencibir disertai dengusan geli yang semakin memperlihatkan ketidaksukaannya pada mantan menantunya itu.

"Ma," Acasia mengelus tangan sang ibu mertua lembut. Berusaha meredakan amarah wanita tua tersebut. "Jangan marah-marah terus, nanti keadaan Mama drop lagi."

"Oma!"

Ophelia dan Acasia menoleh secara bersamaan. Mereka melihat sosok gadis yang Mereka kenal sedang menangis sembari berlari kencang ke arah Mereka dan memeluk Ophelia erat.

"Kanaya?"

Virtual World : Six Month [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang