Prolog

171 21 0
                                    

记住该记住的,忘记该忘记的。改变能改变的,接受不能改变的

"Ingat apa yang harus diingat, lupakan apa yang harus dilupakan. Ubah apa yang bisa diubah, terima apa yang tidak bisa diubah."


"Putri, ke sebelah sini!"

Petir menyambar-nyambar di belakang mereka. Seorang gadis yang dilahirkan untuk tidak pernah berlari, kini berlari tanpa alas kaki di samping pria itu. Rok panjangnya kotor dan robek di beberapa bagian. Kaki mulus gadis itu kini dipenuhi luka lecet dan darah serta lumpur. Gadis itu gemetar, tangannya dingin, tapi dia tidak menyerah. Gadis itu terus berlari bersama pria itu tanpa sepatah kata apa pun.

Saat mereka melihat sebuah gua dari kejauhan, pria itu menarik si gadis masuk ke dalam gua itu. Sungguh bukan tempat yang layak untuk dimasuki oleh seseorang yang anggun dan jelita seperti si gadis. Tapi gadis itu tetap mengikutinya, masuk ke dalam gua sempit dan gelap bersamanya.

Saat sudah memastikan bahwa tentara yang mengejar mereka sudah cukup jauh, si gadis akhirnya menghembuskan napas lega. Pria itu baru menyadari bahwa sejak tadi si gadis menahan napasnya. Si gadis merasa malu karena semua yang dia lakukan malam itu—berlari tanpa alas kaki, membiarkan pakaiannya kotor, berpegangan tangan dengan pria asing, serta bersembunyi di dalam gua gelap bersama pria itu—semua itu bukan tindakan terhormat, sama sekali tidak terpuji. Tapi pria itu tertawa saat pandangan mereka bertemu. Pria itu tidak pernah tertawa seperti itu sebelumnya. Dan meski si gadis baru pertama kali itu melihat tawanya, meski tawanya itu entah kenapa sangat menarik, tapi mata gelap pria itu mengeluarkan air mata.

"Kau hendak tertawa atau menangis? Pilih salah satu." kata gadis itu dengan nada ketus.

Pria itu akhirnya berhenti tertawa dan menghapus air mata yang entah bagaimana mengaliri wajahnya yang sudah kotor dengan debu dan abu. Dia memandangi gadis itu. Putri Kaisar. Seorang Putri tanpa mahkota. Putri tanpa Istana. Putri tanpa apa pun. Tapi dia tetap seorang putri.

"Mereka menyebutku dengan sebutan yang salah. Dewa Petir apanya? Aku bahkan bersembunyi dari petir dan hanya bisa membawa Yang Mulia bersembunyi di tempat kotor dan tidak pantas ini. Yang Mulia boleh memenggal kepala saya kapan pun atas ketidaksopanan saya."

Gadis itu tidak langsung menanggapinya. Matanya yang berwarna kelabu menatap pria itu dengan penasaran. Tidak ada tatapan terguncang padahal gadis itu baru saja menyaksikan seluruh keluarganya dibantai di depan matanya dengan sadis dan istananya dihancurkan serta dibakar oleh saudara tirinya sendiri. Saudara tirinya yang 17 tahun lebih tua darinya, yang hampir dia nikahi.

"Putri?"

"Sejak tadi aku ingin menanyakan ini padamu..." Ucap gadis itu. Matanya masih menatapnya seperti orang asing. "Siapa kau?"

Pria itu tidak menjawab pertanyaan Sang Putri. Dia hanya diam sambil mencari-cari sosok yang dia kenal dalam wajah yang menatapnya dengan penasaran itu. Putri yang selalu menatapnya dengan kejam dan dingin. Putri berhati lembut, pencinta perdamaian yang membenci pembunuh sepertinya. Putri yang mengatainya tidak punya hati karena telah membunuh banyak orang di medan perang. Hatinya mungkin memang telah lama mati, mungkin juga dia memang terlahir tanpa hati, tapi saat Sang Putri mengatakan itu padanya, sesuatu dalam dadanya terasa perih seolah ada panah beracun yang bersarang di sana.

Selang beberapa saat, pria itu masih belum menjawab pertanyaannya, Sang Putri kembali bertanya, "Kenapa kau memanggilku putri? Kenapa kita berlari? Dan kenapa kita bersembunyi? Siapa yang mengejar kita?"

Pria itu membuka mulutnya, hendak menjawab. Tapi tidak ada kata-kata yang keluar darinya. Dia ingin menjawab pertanyaan Sang Putri sebagaimana biasanya dia menjawab setiap kali Sang Putri mengajukan berbagai pertanyaan sulit padanya. Sang Putri selalu penasaran, selalu bertanya, selalu ada saja hal yang ingin ditanyakannya. Dan pria itu biasanya selalu dapat menjawabnya, atau berdebat karena mereka selalu berbeda pendapat dan masing-masing menganggap dirinya paling benar. Tapi kali ini, untuk pertanyaan semudah itu, untuk pertanyaan yang jawabannya sudah ada di ujung lidahnya itu, tiba-tiba dia kehilangan kemampuannya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Sang Putri.

Kau adalah Lee Seo-Hwa, putri bungsu Kaisar Orient, Pewaris Darah Naga, keturunan Dewi Langit, dan pemilik Istana Timur. Putri yang paling disayangi Kaisar dan Ratu. Putri yang sangat dihormati oleh semua orang dan dicintai seluruh rakyat. Putri yang sempurna. Putri yang—lebih dari apapun di dunia ini—ingin kulindungi. Putri yang kucintai dalam diam, yang wajahnya selalu terbayang dalam mimpi-mimpiku dan dalam benakku setiap kali aku hampir mati di medan perang. Putri yang membuatku ingin bangkit setiap kali aku jatuh atau hampir mati dengan alasan aku belum sempat mendebat argumen terakhirnya sebelum berangkat berperang. Putri yang kata-kata tajamnya melukaiku lebih dari pedang mana pun yang pernah merobek kulitku.

Tapi tak satu pun dari kata-kata itu dapat keluar dari mulutnya. Maka pria itu, setelah menelan semua kata-kata itu, mengubur semuanya dalam-dalam. Dia menggenggam kedua tangan putri Seo-Hwa yang masih terasa dingin namun lembut. Pria itu belum pernah menyentuh apa pun yang selembut tangan Sang Putri. Sang Putri masih sangat muda—delapan tahun lebih muda darinya. Masa depannya seharusnya cerah cemerlang. Dia seharusnya menikah bulan depan begitu dia menginjak usia dewasa. Dia seharusnya memiliki umur panjang dan hidup bahagia di Istana bergelimang harta. Menjadi salah satu istri dari salah satu saudara tirinya seperti halnya takdir semua Putri Orient. Dia tidak seharusnya mengalami semua ini jika saja tidak terlahir sebagai Putri Orient. Sang Putri kehilangan ingatannya karena kejadian yang baru saja menimpanya terlalu berat untuknya. Maafkan aku untuk hal yang akan kulakukan ini, Yang Mulia. Ini untuk kebaikanmu sendiri.

Pria itu menatap Sang Putri, membuang semua masa lalunya, membuang kejayaannya di mana orang-orang akan langsung merinding begitu mendengar namanya dikumandangkan di medan perang, Wu Yi-Xing Sang Dewa Petir. Kemudian dia berkata, "Ayo kita ke Westeria."

Lotus of East PalaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang