Langit menjatuhkan tubuh pada satu-satunya kursi kosong dalam bus. Seorang pria berpakaian rapi dengan dasi juga sepatu pantofel yang duduk di sampingnya sibuk membaca, membuat Langit tanpa sadar tersenyum samar.
Akhirnya ... tenang, batinnya.
"Ayo, Neng!"
"Makasih, Bang!"
Seruan terakhir itu membuat kening Langit berkerut, pikirannya menerka-nerka. Mungkinkah si cewek berisik itu...?
Benar saja, beberapa detik kemudian sosok yang dihindarinya muncul dengan senyum cerah terpasang di wajah.
"Pagi, Langit!" sapa Liv. "Berdiri, dong, bangkunya buat gue."
Kerutan di kening Langit semakin dalam. Alih-alih mengikuti keinginan Liv, cowok itu mengalihkan pandangan. Dia bersikap dingin seperti biasa. Langit benar-benar tidak ingin terlibat lebih jauh dengan cewek berisik itu. Mereka hanya kebetulan bermukim di kompleks perumahan yang sama, juga dikelompokkan untuk mengerjakan tugas bersama. Itu tidak berarti mereka harus mengakrabkan diri, apalagi menjadi teman.
"Langit," panggil Liv.
Yang dipanggil tetap diam.
"Dasar orang pelit.... Gue sumpahin sembelit!" gerutu Liv.
Hening sesaat. Langit berpikir cewek itu akhirnya menyerah. Terlalu lelah menghadapi orang seperti dirinya. Namun, tak lama kemudian, Liv kembali bersuara.
"Lo pindahan dari mana, sih? Kampung yang ada di pelosok, ya? Makanya irit omong gini?" tanya cewek itu.
Ketika Langit tidak juga bereaksi, cewek itu melanjutkan, "Lo tahu, orang yang kurang bersosialisasi bisa susah cari kerja nanti. Bokap gue bilang gitu. Kunci utama sukses adalah sosialisasi. Juga sopan! Kalau ditanya orang, minimal jawab ya atau nggak biar orang yang nanya nggak tersinggung."
Langit menggertakkan gigi, tetapi tetap tidak bersuara.
"Kerja kelompok berikutnya di rumah lo lagi, ya? Gue pengin makan sama Oma."
Kali ini, Langit menoleh. Kedua mata hitamnya menatap Liv tajam.
"Apa?" sahut Liv dengan wajah tak berdosa. "Oma nggak keberatan."
"Lo nggak punya kerjaan selain ganggu gue?" balas Langit datar.
"Sekarang? Nggak ada," jawab Liv polos.
Menghela napas, Langit kembali mengalihkan pandangan.
Cewek berisik ini bikin pusing, gerutunya dalam hati. Dari mana, sih, dia dapat energi sebanyak itu buat gangguin gue?
"Pandu Bangsa!"
Seruan kondektur membuat Liv mengurungkan keinginannya untuk bertanya lagi. Dia turun dari bus, disusul Langit.
"Oh ya, dengar-dengar guru Matematika kita itu Bu Amy. Supergalak. Atribut harus lengkap selama jam pelajaran dia. Lo bawa dasi, kan?" kata Liv sambil berjalan di samping Langit.
Tidak ada jawaban, dan jika melihat wajah Langit yang tetap seperti biasa, Liv menyimpulkan bahwa cowok itu membawanya.
"Besok gue bakal beli kanvas, cat air, kuas, dan lain-lain. Lo harus nganterin gue," ucap Liv. "Langit? Lo dengar?"
Tidak ada tanggapan.
Liv berjinjit, lalu berteriak tepat di telinga Langit. "Besok beli peralatan buat tugas!"
Cowok itu berdecak, seketika menghentikan langkah.
"Berisik!"
Setelah itu, Langit berderap meninggalkan Liv dengan wajah kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
If I were You
JugendliteraturLiv dan Langit. Dua remaja yang dipertemukan dengan luka hampir serupa. Liv adalah gadis ceria yang mudah bergaul, selalu menebar tawa kepada siapa pun yang ditemuinya. Orang-orang berpikir hidup Liv sempurna, meski kenyataannya Liv menutupi luka ka...