Napas Liv tercekat di tenggorokan. Tiba-tiba seluruh kata meninggalkan lidahnya, sementara jantungnya berdetak begitu keras hingga dia hampir yakin Langit bisa mendengarnya.
Apa? Apa yang baru saja Langit katakan?
"Langit, Livia, kenapa kalian duduk di tanah?" tanya Oma yang baru keluar dari rumah.
Langit dan Liv menoleh ke arah Oma, lalu kembali saling menatap sebelum buru-buru mengalihkan pandangan dengan pipi yang merona merah.
Oma yang diam-diam senang karena reaksi itu, tak bisa menyembunyikan senyum cerahnya.
"Kalau gitu, Oma tinggal dulu. Kalian ngobrol, ya. Tapi sebaiknya masuk aja, duduk di sofa pasti lebih nyaman," ucap Oma sebelum kembali masuk ke rumah.
Yang ditinggalkan masih sama-sama diam, sibuk memandang apa saja selain lawan bicara masing-masing. Sunyi akhirnya dipecahkan oleh Langit yang tidak tahan lagi.
"Jadi, ada yang perlu diomongin lagi?" tanya Langit dengan nada yang dipaksanya datar.
Liv menggigit bibir, lalu menjawab, "Banyak, tapi gue harus pulang sekarang. Nyokap gue masak dan dia pasti nunggu gue buat sarapan bareng."
Mendengar itu, Langit segera bangkit berdiri. Liv mengikuti gerakan cowok itu dengan pandangan bingung, apalagi ketika sebuah tangan terulur ke hadapannya. Meski ragu, Liv menerima uluran tangan Langit dan membiarkan dirinya ditarik hingga berdiri.
"Habis sarapan balik lagi ke sini," ucap Langit. "Gue ... juga punya sesuatu yang harus diomongin."
Liv hanya mengangguk pelan, sebelum membalikkan tubuh dan berjalan pulang dengan perasaan tak menentu.
***
Lebih dari satu jam kemudian, Liv melangkah masuk ke kamar Langit. Dia sudah mengganti celana olahraganya dengan jins, juga jaketnya dengan kaus berwarna biru. Matanya sibuk mengamati setiap sudut, sebelum sebuah kerutan menghuni dahinya.
Kamar Langit memberi kesan dingin, sebab tidak ada foto atau apa pun yang menempel di dinding. Tempat tidurnya rapi, begitu pun kursi di ujung kamar. Tidak ada pakaian kotor bertebaran seperti yang selalu Liv temukan di kamar Indra. Hanya meja belajar penuh tumpukan album yang memberikan indikasi bahwa Langit benar-benar menempati kamar itu.
"Nggak usah ditutup pintunya."
Ucapan Langit itu menyentak Liv hingga dengan cepat dia menjawab, "Oke."
Liv berdiri beberapa langkah dari pintu, terlihat bingung. Langit segera menghampirinya dan menariknya menuju meja belajar, sebelum memaksa cewek itu duduk pada satu-satunya kursi yang berada di depan meja.
"Ini...." Langit menyentuh album foto teratas, lalu melanjutkan, "Ini bagian dari diri gue yang masih belum bisa gue lepas."
Liv mengerjap. Dia menatap Langit, melihat dengan jelas pergumulan yang terjadi dalam diri cowok itu. Perlahan, Liv mengambil satu album dan membukanya, sementara Langit mundur dan duduk di tepi tempat tidur.
Halaman pertama album foto itu berisi wajah seorang cewek yang tersenyum lebar pada kamera. Liv terus membuka lembar demi lembar, menemukan banyak tawa ketika cewek itu sadar kamera memotretnya. Namun, di lain waktu, saat tidak tahu, cewek itu sama sekali tidak tersenyum. Wajahnya bahkan memberi kesan sedih yang mendalam.
"Dia ... siapa?" tanya Liv setelah menutup album ketiga dari entah berapa banyak album berwarna hitam itu. Sejauh ini, Liv hanya menemukan wajah cewek itu dan dia yakin sisanya pun begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
If I were You
Ficção AdolescenteLiv dan Langit. Dua remaja yang dipertemukan dengan luka hampir serupa. Liv adalah gadis ceria yang mudah bergaul, selalu menebar tawa kepada siapa pun yang ditemuinya. Orang-orang berpikir hidup Liv sempurna, meski kenyataannya Liv menutupi luka ka...