23. Pilihan Liv

55 13 1
                                    

Liv menghentikan langkahnya menuju dapur ketika melihat ibunya sibuk mengeluarkan berbagai macam bahan makanan dari lemari es. Ibunya masih mengenakan pakaian kerja, tetapi rambutnya sudah digulung secara asal di puncak leher.

"Ibu?" panggil Liv.

"Iya," jawab ibunya tanpa menghentikan kegiatan. "Maaf makan malamnya terlambat, Ibu ada rapat tadi-"

"Ibu."

Kali ini ibunya menoleh. Tidak seperti beberapa minggu lalu, wajah ibunya kini terlihat lebih santai. Tak lagi terlalu lelah atau muram. Liv ingin sekali berpikir hal itu karena pekerjaannya tidak banyak, tetapi dia tahu alasannya jauh dari hal seremeh itu.

"Aku sudah makan sama Ayah." Liv berkata pelan. "Tadi sore kami pergi beli lampu buat kamarku, terus di depan toko ada kios siomai, jadi kami makan duluan."

Nida mengerjap. "Oh, syukurlah. Ibu takut kamu kelaparan kalau nunggu Ibu masak."

Liv duduk di salah satu kursi pantri, sementara ibunya memasukkan bahan-bahan makanan kembali ke lemari es dan mengambil beberapa buah apel.

"Ibu tahu pasti kamu bosan sama masakan luar, tapi gimana kalau selama hari kerja kita pesan makanan di luar aja?" tanya Nida seraya duduk di sisi Liv, lalu mulai mengupas apel. "Ibu juga tahu, masakan Ibu nggak seberapa enak. Ibu kasihan sama kamu kalau harus makan masakan Ibu setiap hari. Tapi, Ibu bakal terus belajar masak. Jadi, kita bisa masak sama-sama setiap weekend."

Alih-alih menjawab, Liv justru bertanya, "Apa Ibu pernah cinta sama Ayah?"

Gerakan tangan ibunya berhenti sesaat, disusul jawaban, "Kenapa, Armitha?"

"Aku cuma mau tahu aja, Bu," sahut Liv sambil mengedikkan bahu.

Hening. Liv memusatkan perhatian pada gerakan ibunya yang sedang mengupas kulit apel. Jika harus jujur, Liv hanya ingin mengenal ibunya sedikit lebih dalam. Mencoba memahaminya. Selama ini, Liv selalu berkeluh-kesah pada ayahnya, hingga kadang dia berpikir dia hanya benar-benar mengenal satu dari dua orang tuanya. Dan, rasanya itu tidak adil.

"Ibu sayang sama ayah kamu. Kalau nggak, gimana mungkin kamu dan Indra bisa ada?" ucap Nida pelan. "Tapi, sejak awal, Ibu nggak pernah yakin perasaan yang Ibu punya buat ayah kamu itu cinta atau bukan. Cinta ... sampai sekarang Ibu sendiri masih nggak ngerti. Ibu bingung sama semua definisinya. Yang Ibu tahu, cinta itu ada waktu Ibu gendong kamu dan Indra setelah kalian lahir. Cinta itu ada waktu Ibu lihat kalian sehat, bahagia. Biarpun Ibu nggak terlalu bagus dalam hal bikin kalian bahagia."

Kalimat terakhir itu diikuti senyum sedih dari ibunya, yang langsung disambut Liv dengan gelengan tegas. Sementara dalam hati dia mencoba memahami penjelasan itu, meski nyatanya, Liv hanya semakin teryakinkan bahwa sejak awal memang tidak ada cinta di antara kedua orang tuanya.

"Apa Ibu pernah cinta sama seseorang?" tanya cewek itu kemudian. "Sebelum Ibu nikah sama Ayah? Atau mungkin ... setelahnya?"

Ibu Liv mematung. Perlahan, dia meletakkan pisau dan buah di tangannya ke atas meja.

"Kalau Ibu nggak mau cerita, nggak apa-apa," lanjut Liv cepat. Merasa tidak enak sudah mengusik ibunya.

Namun, perempuan yang telah melahirkannya itu justru menggeleng, lalu tersenyum.

"Waktu Ibu masih kuliah, ada satu laki-laki yang selalu ... apa istilahnya? Bikin jantung Ibu berdebar. Bikin Ibu gugup. Pokoknya Ibu jadi bodoh di depan dia," tutur ibunya dengan tatapan menerawang. Senyum tipis masih bermain di sudut bibirnya. "Dia ada di beberapa kelas yang Ibu ambil, kami sering satu kelompok, tapi Ibu terlalu fokus sama sekolah dulu. Setelah lulus, Ibu lebih fokus sama pekerjaan. Dia memang masih sering datang ke rumah Ibu, tapi mungkin dia capek nunggu, karena dua tahun setelah lulus dia akhirnya menikah dengan perempuan lain."

"Ibu mau ketemu dia lagi?" tanya Liv.

Sebuah gelengan tegas diberikan ibunya. "Dia sudah berkeluarga, Armitha. Seperti apa pun rasanya atau keadaannya, Ibu nggak pernah dan nggak akan pernah ganggu kehidupannya. Ibu sudah memilih karier waktu itu. Jadi, Ibu harus terima konsekuensinya."

"Seandainya setelah Ibu pisah sama Ayah nanti, Ibu ketemu sama dia lagi, gimana?" kejar Liv.

Ibunya masih menatap Liv dengan senyum yang sama, lalu menjawab, "Ibu sudah berhenti membuat pengandaian sejak Indra lahir. Bagi Ibu, kamu dan Indra aja sudah cukup. Lagi pula, dia sudah bahagia dengan keluarganya. Ibu memang nggak pernah bertemu atau bertanya secara langsung, tapi dari beberapa teman Ibu yang juga temannya, mereka semua bilang dia bahagia."

"Aku dan Adra ... cukup?" gumam Liv.

Nida membelai rambut anak bungsunya dengan lembut, sebelum berkata, "Mungkin selama ini Ibu belum bisa jadi orang tua yang baik buat kalian, bukan berarti Ibu nggak sayang sama kalian. Bagi Ibu, sejak dulu, kamu dan Indra lebih dari cukup. Ibu bertahan karena kalian, juga demi kalian. Setelah ini, Ibu janji bakal lebih perhatian sama kalian. Ibu akan berusaha buat lebih banyak menghabiskan waktu sama kalian."

Liv mengulurkan kedua tangannya, lalu memeluk ibunya erat. Dia sangat jarang memeluk ibunya, bahkan hampir tidak ingat kapan terakhir kali melakukannya. Kini, Liv merasa sangat buruk karena selalu menyalahkan ibunya yang terlalu sibuk. Padahal Liv sendiri tidak pernah berusaha untuk meraih ibunya lebih dulu.

"Aku mau tinggal sama Ibu," bisik Liv.

Satu tangan Nida yang mengusap punggungnya berhenti, disusul, "Apa?"

Liv menarik tubuhnya ke belakang, tersenyum dengan mata berkaca-kaca. "Aku mau tinggal sama Ibu, di sini. Kita berusaha sama-sama. Kita mulai dari awal, ya, Bu?"

Air mata mengaliri wajah ibunya, disusul isak yang terdengar seperti helaan napas lega. Sebuah pelukan kembali melingkupi Liv, membuat cewek itu merasa hangat, dan retakan pada hatinya seakan mulai rekat.

"Kita akan berusaha, Armitha," bisik ibunya. "Terima kasih...."

Liv tertawa pelan, lalu membalas, "Dan, mari mulai dengan Ibu manggil aku Liv. Oke? Aku nggak suka Armitha, Bu. Terlalu panjang."

Ibu Liv ikut tertawa, meski tidak mengiakan. Hanya terus mendekapnya.

Bel rumah yang berbunyi membuat pelukan mereka terurai. Liv menghapus air matanya dengan cepat, lalu turun dari kursi pantri dan berlari menuju pintu depan. Matanya sekilas melihat jam yang sudah menunjukkan pukul delapan malam.

Siapa yang datang? batin Liv.

Begitu pintu terbuka dan menunjukkan wajah Diaz, Liv tergelak.

"Gue kira siapa!" seru cewek itu ceria. Tiba-tiba merasakan desakan untuk menceritakan pilihan yang baru saja dibuatnya. "Ayo, masuk."

Diaz yang terlihat gugup segera menggeleng. "Kita ngomong di depan aja, ya?"

***

If I were YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang