Setelah upacara bendera selesai, Liv dan Diaz kembali ke kelas. Selang beberapa menit, wali kelas mereka yang baru melangkah masuk, diikuti seorang cowok dengan ransel hitam. Bahu Liv langsung menegak. Cowok itu adalah orang yang ditabraknya di lorong.
"Selamat pagi, Anak-anak. Beberapa dari kalian mungkin sudah kenal saya, tapi bagi yang belum, perkenalkan nama saya Widia Larasati. Saya wali kelas kalian tahun ini, sekaligus guru mata pelajaran Biologi," ucap Bu Widia.
Menoleh ke sisi kirinya, Bu Widia memberi tanda agar anak baru itu memperkenalkan diri.
Menatap lurus ke depan, cowok itu membuka suara. Mengucapkan namanya dengan nada datar, tanpa ekspresi, apalagi senyum di wajahnya.
"Langit. Relangit Pradipta."
Hening.
Liv mengedarkan pandangan. Teman-temannya yang berjenis kelamin perempuan jelas terpesona pada Langit, bahkan tidak sedikit yang senyum-senyum sendiri. Sementara yang laki-laki tidak merespons. Kebanyakan tidak peduli, sementara sisanya menatap serius.
Bu Widia memiringkan kepala. "Ada lagi, Langit?"
Langit menggeleng.
"Silakan pilih tempat duduk kamu," lanjut Bu Widia.
Langit melangkah menuju bangku di barisan paling depan yang kosong. Meletakkan tasnya, lalu duduk.
Sementara Bu Widia meminta mereka untuk memilih ketua kelas dan sebagainya, Liv berbisik pada Diaz.
"Itu orang yang gue tabrak di lorong tadi."
Diaz menaikkan alis. "Anak baru itu? Bukan tipe anak rusuh. Pantes dia ninggalin lo."
"Sialan," balas Liv. "Tapi seenggaknya dia harus nanyain keadaan gue, dong. Salah dia punya badan kayak tembok terus berhenti tiba-tiba di tengah jalan. Gue, kan, jadi jatuh."
Satu alis Diaz terangkat. "Lo yang jalan nggak hati-hati, Liv, masa lo nyuruh dia nanyain lo? Masih untung lo nggak disemprot dia tadi."
Liv menyuarakan protes, "Kok, lo belain dia, sih? Gue korban di sini."
Menghela napas, Diaz memutuskan untuk tidak meladeni sahabatnya lagi. Liv itu memang bisa luar biasa berlebihan kadang-kadang. Diaz sudah terbiasa. Cowok itu mengeluarkan buku sketsa, lalu membuka halaman tempat sketsa terakhirnya belum selesai digambar. Lebih baik merampungkan gambarnya ketimbang melayani ocehan sahabatnya.
"Eh, tapi dia aneh," kata Liv kemudian. "Lo lihat nggak, mukanya datar banget?"
"Nggak," balas Diaz tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya. Sungguh, pembicaraan mengenai anak baru itu tidak menarik baginya.
"Ah, kelihatan jelas, kok! Ada yang aneh sama dia."
Kening Diaz berkerut. "Lo kenapa jadi melototin dia? Bukannya lo sebal sama dia?"
Liv mengibaskan tangan. "Lo tahu, gue nggak bisa sebal lama-lama. Cuma sama lo aja gue bisa tahan ngambek. Kira-kira dia kenapa, ya? Kenapa dia nggak mau senyum? Kenapa dia pindah ke sekolah kita?" cerocos Liv tanpa henti. "Jangan-jangan keluarganya punya masalah! Atau dia yang bermasalah. Lihat deh, Di, jelas banget aura dia tuh terlalu 'gelap' buat ukuran anak seumuran kita."
Diaz menggeleng. "Jangan kepo, Liv. Bisa-bisa lo yang kena masalah. Lagian sok tahu banget, sih. Mana ada aura 'terlalu gelap'?"
Ketika tidak mendapatkan respons, Diaz menoleh pada sahabatnya hanya untuk menemukan cewek itu sedang menatap si anak baru dengan penuh minat. Ada senyum lebar di bibir Liv dan Diaz merasa jantungnya melewatkan satu detak. Awalnya, Diaz tidak mengerti dengan reaksi anehnya itu, tapi setelah mengerti pun dia tidak bisa menguraikannya. Maka bingung menjadi satu-satunya hal yang Diaz rasakan.
"Liv—" Nada memperingatkan terdengar kental dalam suara cowok itu.
Yang langsung Liv sela dengan, "Lo kenal gue, Diaz. Kepo adalah nama tengah gue."
Sekali lagi, Diaz menghela napas, lalu kembali memelototi buku sketsanya. Meski fokusnya sudah tidak berada di sana.
***
Dia tahu, ada banyak mata memandangnya penuh rasa ingin tahu. Namun, ramah-tamah sudah tidak ada dalam kamus hidupnya. Tidak peduli area sekolah itu sama sekali asing baginya, dia melangkah keluar dari kelas. Waktu istirahat memang terasa seperti mimpi buruk karena keadaannya selalu ramai. Dulu, dia tidak keberatan. Kini, dia hanya ingin berteman dengan keheningan.
Ketika sedang berjalan tak tentu arah, cowok itu menemukan sebuah tangga. Dia mendongak dan tidak melihat siapa pun di sepanjang anak-anak tangga. Begitu jaraknya dengan tangga semakin dekat, bisa dia lihat alasan tangga itu sepi penghuni. Sebuah kertas berisi peringatan untuk tidak naik ke tempat pengecoran terpasang jelas.
Meski tentu saja, hal itu tidak menghentikannya.
Sambil menaiki tangga dengan langkah-langkah cepat, dia menghampiri bagian yang dia yakini lebih sepi daripada perpustakaan. Kakinya yang tertutup sepatu hitam menginjak sedikit tumpukan pasir begitu sampai di bagian atas. Angin berembus, sementara suara percakapan terdengar di kejauhan.
Belum cukup hening, batinnya.
Selama sesaat, cowok berseragam sekolah itu hanya diam. Membiarkan sinar matahari menyengatnya, lalu dia tarik napas dalam-dalam.
Sesak itu masih ada.
Seulas senyum penuh ironi tersungging di bibirnya. Jelas saja sesak itu ada. Sesak itu adalah penanda atas kehilangannya. Sesak yang setia menemaninya, sejak kepergian orang terpenting dalam hidupnya.
Sesak yang dia yakini akan terus menghantui selama dia masih bernapas.
Suara langkah kaki membuatnya menoleh ke belakang. Wajah cantik terbingkai rambut lurus dengan ekspresi terkejut menyambutnya.
"Lo ngapain di sini?" tanya cewek itu seraya melangkah mendekat. "Nggak ada yang boleh datang ke sini. Peraturannya ditempel jelas tuh di bawah. Gue tadi buru-buru ngikutin lo karena takut lo mikir aneh-aneh. Lagian kalau lo mau bunuh diri, tanggung banget. Cuma dua lantai gini. Bukannya mati, yang ada malah cacat."
Sunyi. Angin kembali melirih, sementara mereka bertatapan. Tersenyum, cewek itu mengulurkan tangannya.
"Lo Langit, kan? Gue Armitha Lalivia. Semua orang manggil gue Liv. Kecuali Pak Heru—satpam yang jaga gerbang depan—dia manggil gue Lali. Katanya, biar nggak lupa." Liv berkata riang. Satu detik setelahnya, dia memiringkan kepala. Ekspresi wajahnya berubah cemas. "Lo nggak bakal ikutan Pak Heru, kan?"
Tidak ada jawaban. Langit tetap diam.
Liv mengerjap. Keningnya mulai berkerut.
"Lo ... bisa dengar gue, kan?" tanya Liv bingung. "Kenapa diam?"
Alih-alih menjawab, Langit mengedarkan pandangan pada tempat yang dipenuhi material bangunan itu. Tidak ada pagar di sekitar dan akan sangat mudah menjatuhkan diri. Namun, cewek itu benar, jatuh dari ketinggian ini hanya akan membuatnya kehilangan salah satu atau mungkin banyak fungsi tubuh. Langit membalikkan tubuh, melangkah menuju tangga. Dia meninggalkan tempat yang sedang berada dalam proses pengecoran itu. Tempat yang berada tepat di atas kelas 12 IPA 1 sampai 12 IPA 3 dan akan dibangun untuk dijadikan ruang kelas. Lokasi yang dia pikir bisa menjadi tempat persembunyiannya.
Sementara itu, Liv berdiri dengan mulut ternganga. Dia baru saja diabaikan! Lalu ditinggalkan!
"Wah, benar-benar anak ajaib," gumam Liv.
Sambil menggelengkan kepala, Liv melangkahkan kakinya untuk turun dan berjalan menuju kantin, di mana sahabatnya menunggu.
Yang tidak Liv sadari, begitu dia meninggalkan anak-anak tangga dan menjejak di lantai dasar sekolah, sepasang mata mengamati gerakannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
If I were You
Novela JuvenilLiv dan Langit. Dua remaja yang dipertemukan dengan luka hampir serupa. Liv adalah gadis ceria yang mudah bergaul, selalu menebar tawa kepada siapa pun yang ditemuinya. Orang-orang berpikir hidup Liv sempurna, meski kenyataannya Liv menutupi luka ka...