"Ayo, Sunshine, masa baru segini kamu sudah capek?"
Pertanyaan ayahnya itu tidak membuat Liv melanjutkan larinya, justru menjatuhkan diri di tepi lapangan. Hari Minggu pagi ini tiba-tiba ayah Liv datang dan memaksa anak bungsunya untuk lari pagi di lapangan kompleks. Ibu Liv juga diajak, tetapi lebih memilih untuk memasak di rumah, sesuai janjinya pada Liv.
"Sayang, kita bahkan belum lari lima belas menit," kata ayah Liv seraya berlutut di hadapannya.
"Ayah lanjut aja," sahut Liv dengan napas terengah. "Aku mau duduk di sini sebentar, terus pulang. Mending aku belajar masak bareng Ibu."
Tertawa, Julian mengacak rambut Liv dengan sayang. Pria itu pun memilih duduk di sisi putrinya. Dia baru pindah ke rumah barunya tiga hari yang lalu, tetapi terasa seperti tiga tahun. Julian merindukan putrinya yang selalu mampu membuatnya kembali bersemangat.
"Gimana sekolah?" tanya pria itu setelah menenggak air mineral.
"Nggak ada masalah," jawab Liv. "Makin banyak pendalaman materi sama tes, namanya juga anak kelas dua belas, Yah."
Ayah Liv mengangguk-angguk. "Terus gimana teman kamu? Yang katanya marah waktu itu?"
Liv mengerucutkan bibir, tidak langsung menjawab. Langit memang sudah masuk sekolah, tapi cowok itu masih menolak bicara dengannya. Liv sudah melakukan segala cara yang bisa dipikirkannya untuk membuat Langit berhenti barang satu detik dan mendengar penjelasannya, tetap saja tidak berhasil. Cowok itu benar-benar keras kepala.
"Livia, Ayah boleh bertanya?"
Mengerjap, Liv segera menatap ayahnya dan mengangguk.
"Kenapa kamu pilih tinggal sama ibu kamu?" tanya Julian. "Bukan karena Ayah nggak terima sama keputusan kamu. Ayah yakin Ibu bisa merawat kamu dengan baik. Tapi...."
Liv memberikan seulas senyum untuk menenangkan ayahnya. "Aku ngerti maksud Ayah. Alasanku pilih Ibu karena aku rasa itu yang paling tepat. Selain karena aku nggak mau pindah rumah dan jauh sama sekolah, aku juga pengin kenal Ibu. Aku pikir, selama ini kayaknya aku sudah nggak adil sama Ibu, karena aku lebih dekat sama Ayah. Juga...."
Aku belum siap harus punya keluarga baru, batin Liv. Benaknya langsung menghadirkan sosok Kayla dan Raya, yang hingga kini tetap menorehkan sayatan pada hatinya. Liv sudah berusaha untuk memahami, termasuk memaafkan ketidakjujuran ayahnya, tetapi masih terasa sulit. Bahkan fakta ayahnya tidak langsung menikahi ibu Kayla setelah bercerai pun tetap tidak mempermudah semua proses penerimaan itu.
"Intinya, aku mau mulai dari awal, Yah." Liv kembali menyunggingkan senyum untuk ayahnya. "Aku dan Ibu mau berusaha. Lagian aku bisa nginap di rumah baru Ayah setiap weekend, atau selama libur setelah ujian nanti."
Julian membalas senyum Liv, mengerti setiap kalimat yang tidak disuarakan oleh anak bungsunya itu. Dia juga mengerti, permintaan maaf saja tidak cukup. Memang benar, mereka semua harus berusaha untuk kembali memulai dari awal dan membiarkan waktu mengurus sisanya.
Liv bangkit berdiri. "Ayo pulang, Yah."
Mereka berjalan pelan diselingi kabar mengenai Indra yang kondisinya semakin baik. Liv bahkan merencanakan kunjungan untuk menjenguk kakaknya itu dengan bersemangat. Hingga matanya menangkap sebuah punggung familier yang selama beberapa minggu terakhir selalu dicarinya.
"Eh, Ayah pulang duluan aja, ya. Aku mau ngomong sama temanku dulu," ucap Liv terburu-buru.
"Teman kamu?" tanya ayahnya bingung.
Liv tidak sempat menjelaskan karena punggung Langit terlihat semakin jauh. Cewek itu langsung berlari, mengabaikan seruan ayahnya. Liv tidak lagi melihat punggung Langit, tetapi dia yakin cowok itu akan berbelok menuju blok E. Benar saja, Liv menemukan teman sekelasnya itu sedang membuka pintu gerbang dan bersiap masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
If I were You
Teen FictionLiv dan Langit. Dua remaja yang dipertemukan dengan luka hampir serupa. Liv adalah gadis ceria yang mudah bergaul, selalu menebar tawa kepada siapa pun yang ditemuinya. Orang-orang berpikir hidup Liv sempurna, meski kenyataannya Liv menutupi luka ka...