21. Perspektif

55 13 0
                                    

Perjalanan menuju rumah Langit dengan berjalan kaki membutuhkan tiga putaran lagu. Liv tahu karena earphone yang ada di telinganya sudah tiga kali memutar lagu Weightless dari All Time Low. Dia berusaha mengosongkan pikiran, menenangkan debar jantungnya, tetapi semakin dekat jaraknya dengan rumah Langit, Liv merasa semakin gelisah.

Begitu sampai di depan gerbang, satu jari Liv menekan bel. Dia meyakinkan dirinya berulang kali bahwa jawaban itu harus didapatkannya. Bahwa sikap Langit yang tiba-tiba marah tanpa penjelasan, apalagi alasan yang jelas, adalah tidak adil.

Salah satu dari pintu ganda rumah terbuka, menampilkan sosok Oma. Seketika napas lega keluar dari bibir Liv. Dia tidak menyadari betapa tegang dirinya selama menunggu pintu terbuka.

"Livia?"

"Pagi, Oma," sapa Liv dengan senyum tipis.

Perempuan baya yang pagi ini sudah rapi dengan baju terusan berwarna biru membalas senyum Liv sambil membukakan gerbang. "Kenapa nggak langsung masuk aja? Pakai pencet bel segala, memangnya kamu tamu jauh?"

Liv hanya merespons dengan senyum yang lebih lebar.

"Oh, iya, kamu sudah sarapan?" tanya Oma seraya berjalan memasuki rumah.

"Belum," jawab Liv jujur. Namun, tujuannya datang bukan untuk meminta sarapan, jadi cewek itu segera melanjutkan, "Langit ada, Oma?"

"Langit pergi ke Pangandaran," sahut Oma. "Dia berangkat kemarin. Katanya ada hal penting. Oma juga nggak tahu apa, dia cuma minta Oma nulis surat izin buat absen di sekolah seminggu. Oma pikir kamu tahu, Livia."

Mengerjap, Liv menyuarakan hal pertama yang melintasi benaknya. "Langit pergi? Seminggu?" Tanpa menjawab, Oma mengajaknya masuk.

Mereka berdua sampai di ruang makan, di mana Opa sedang menikmati sarapannya. Liv tidak benar-benar menyadari apa yang dikatakan Opa, karena itu dia hanya sanggup melemparkan senyum sebelum kembali memusatkan perhatian pada Oma.

"Apa terjadi sesuatu sama kalian?" tanya Oma tanpa basa-basi. "Oma sudah curiga ada yang aneh dengan Langit. Dia jadi lebih pendiam dari biasanya, lebih jarang lagi keluar dari kamarnya. Tapi, waktu dia minta Oma nulis surat izin, Oma nggak dapat penjelasan apa-apa karena Langit ... yah, Langit. Dia nggak pernah cerita soal apa pun ke Oma. Jadi, ada apa, Livia?"

Menggigit bibir, Liv tidak tahu bagaimana harus menjelaskan perihal sikap Langit yang tiba-tiba marah dan menghindarinya. Oma yang seakan mengerti kebingungan Liv, menarik cewek itu menuju sofa di ruang keluarga.

"Kamu orang pertama yang bisa bikin Langit senyum, Livia."

Pengakuan itu mengejutkan Liv. "Aku?"

Oma mengangguk tanpa ragu. "Mungkin kamu nggak sadar, tapi waktu terakhir kalian makan malam di sini, Langit banyak tersenyum. Tipis, nyaris nggak kelihatan, tapi Oma tahu."

Liv tidak tahu harus bereaksi seperti apa pada informasi yang baru didengarnya, jadi dia menyuarakan alasannya datang pagi ini.

"Beberapa hari yang lalu, aku bilang ke Langit kalau orang tuaku akan bercerai, Oma. Langit ... marah. Dia nggak mau dengar apa pun penjelasanku dan dia bilang ... dia nyesel sudah percaya sama aku. Aku nggak tahu apa kesalahanku, tapi Langit benar-benar ngejauh," tutur Liv pelan. "Karena itu, aku datang ke sini hari ini. Aku mau maksa Langit buat jelasin semuanya. Aku mau minta maaf, kalau memang ada kesalahan yang aku perbuat. Tapi, aku nggak tahu gimana harus minta maaf, karena aku nggak tahu apa salahku."

"Bagaimana persisnya percakapan kalian sebelum Langit marah?" tanya Oma dengan wajah serius.

Liv mencoba mengingat. "Aku nanya, sebaiknya aku tinggal sama siapa setelah orang tuaku cerai. Langit bilang ada yang salah sama aku, karena aku kelihatan tenang. Terus...." Kedua mata Liv membelalak, akhirnya menyadari penyebab kemarahan Langit. "Ide perceraian orang tuaku itu dari aku, Oma."

"Kamu minta orang tua kamu bercerai?" tanya Oma bingung.

Liv mengangguk. Kini, dia memahami seperti apa kondisinya jika dilihat dari perspektif Langit. Dia terlihat seperti anak tidak tahu diri. Tanpa sadar, dia seperti mengejek ketidakmampuan Langit untuk memilih dulu saat orang tua Langit bercerai.

"Kenapa, Livia?" tanya Oma kemudian. "Kenapa kamu minta orang tua kamu pisah?"

"Karena mereka nggak bisa bahagia waktu sama-sama," jawab Liv langsung. "Aku ... mau mereka berhenti saling menyakiti, supaya mereka bisa bantu aku dan kakakku. Karena mereka tetap nikah ataupun pisah, aku dan kakakku tetap sakit. Jadi, aku ngasih pilihan ke mereka. Pilihan yang nggak akan nyakitin mereka."

Liv terkejut ketika tangan Oma menggenggam tangannya erat. Ada air mata yang melintasi wajah perempuan itu, membuat Liv seketika merasa panik.

"Oma—"

"Oma bangga sama kamu," sela Oma sungguh-sungguh.

Perasaan lega yang tiba-tiba menjalari hati Liv membuat cewek itu kewalahan, hingga dia tidak bisa menahan tetes air yang mulai mengaliri wajahnya. Dia memang pernah mendengar kalimat semacam itu dari Indra, tetapi Indra adalah kakaknya. Indra memiliki kewajiban untuk mendukungnya, berbeda halnya dengan Oma.

"Di usia belia kamu, kamu sudah menghadapi masalah sepelik ini dan ... Oma nggak tahu apa kata yang tepat, tapi kamu kuat. Livia, kamu punya hati yang baik dan kuat. Oma bangga sama kamu." Oma menarik napas dalam-dalam. "Kamu nggak apa-apa? Mau minum?"

Liv menggeleng sambil mengusap pipinya, berusaha menenangkan diri. Pada keheningan yang tiba-tiba tercipta di antara mereka, Oma mengisinya dengan satu pengakuan.

"Langit peduli sama kamu," ujar Oma. "Apa pun yang dia bilang ke kamu waktu dia marah, itu pasti cuma usahanya buat melindungi hatinya. Dia takut terluka lagi, Livia. Dia nggak mau kecewa karena berani percaya lagi setelah.... Oma nggak tahu apa yang sudah pernah Langit bagi tentang hidupnya sama kamu, tapi kamu harus percaya kalau Langit peduli sama kamu."

Liv tidak menjawab. Dia bahkan tetap diam ketika Oma menariknya ke dalam pelukan.

"Setelah Langit pulang, kamu ajak dia bicara, ya. Jangan menyerah. Karena Langit butuh dorongan sedikit lebih banyak daripada anak-anak seusianya. Yang penting kamu sudah tahu, Langit nggak akan marah kalau bukan karena dia peduli sama kamu."

Oma membelai punggung Liv dengan gerakan lembut, yang disambut sebuah anggukan dari cewek itu.

***

If I were YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang