1. Pertemuan Klise

909 52 2
                                    

Seorang siswi meloncat turun dari bus tepat di depan halte SMA Pandu Bangsa. Angin pagi yang sejuk menyentuh setiap jengkal kulitnya yang terbuka dan dia merasa bersemangat. Tahun ajaran baru, berarti pengalaman baru. Terlebih tahun ini adalah tahun terakhirnya mengenakan seragam putih abu-abu. Dia akan memastikan tahun ini jauh dari kata membosankan.

Sebuah pesan yang masuk ke ponsel membuatnya memelankan langkah. Dia merogoh saku rok dan membuka pesannya.

Diaz Aditya: Liv, di mana?

Armitha Lalivia: Halte. Lo udah tahu kelas kita di mana?

Diaz Aditya: Gue masih antre di depan mading. Cepat ke sini.

Liv memasukkan kembali ponselnya ke saku rok dan melanjutkan langkah. Dia meneliti setiap wajah yang ikut berjalan di sekitarnya, tetapi tidak menemukan satu pun yang dia kenal. Pandangannya pun menyapu bagian depan sekolah yang dilengkapi lapangan upacara, ring basket, serta kolam ikan kecil. Tak jauh dari kolam ikan bertengger meja untuk guru piket yang bertugas.

Baru saja Liv melewati meja itu, seorang satpam menyapanya.

"Selamat pagi, Dik Lali! Gimana liburannya?"

Liv tertawa. Hanya Pak Heru yang memanggilnya seperti itu. Sudah dua tahun dan sepertinya masih akan terus berlanjut. Alasannya, Lali dalam bahasa Jawa berarti lupa, dan Pak Heru memanggil Liv begitu agar dia tidak lupa nama Liv. Aneh? Memang. Namun, Liv membiarkannya.

Liv membalas tak kalah ceria. "Pagi, Pak Heru! Liburanku nggak seru, nggak bisa ketemu Bapak. Omong-omong, Bapak habis dari mana?"

"Ada anak baru. Dik Lali tahu sendiri, wajib hukumnya bagi Bapak buat antar anak itu ke ruang guru," jawabnya ramah.

Liv mengangguk-angguk saja. Tidak ingin berlama-lama bertahan di tempat mereka berbincang, apalagi sahabat cewek itu sedang menunggu di depan mading.

"Saya duluan ya, Pak," pamit Liv sejurus kemudian.

Cewek itu bergegas menuju mading yang berada di belokan sebelah kanan dari gerbang kedua. Benar saja, kerumunan siswa memenuhi area di sekitar mading. Liv berjinjit mencari Diaz, yang untungnya mudah ditemukan sebab sahabatnya itu tampak berbeda. Bukan saja karena tinggi tubuhnya, tetapi karena ada banyak siswi yang berusaha menarik perhatiannya.

"Diaz!"

Seruan Liv membuat cowok itu menoleh. Seulas senyum merekah di wajah Diaz dan sebelum cowok itu membuka mulut, Liv sudah menebak alasan di balik senyum riang sahabatnya.

"Kita sekelas, kan?" tebak Liv sambil tersenyum lebar.

Diaz tergelak. "Kalau tahu lo bisa lihat masa depan, gue nggak perlu desak-desakan di depan mading. Kita masuk kelas 12 IPA 2."

Liv mencibir. "Pasti para penggemar lo ngasih tahu duluan. Mana ada sejarahnya Diaz Aditya desak-desakan sama rakyat jelata?"

Sontak, sebuah jitakan mendarat di kepala Liv, membuat cewek itu bersungut-sungut. "Mending lo pilih bangku sana, daripada nyiksa gue," ucap Liv dengan bibir mengerucut. "Gue nyusul. Mau ke toilet dulu."

Setelah menyuarakan satu ejekan, barulah Diaz beranjak menuju kelas baru mereka.

Liv berjalan menuju ujung koridor dan masuk ke toilet. Ponselnya kembali bergetar setelah dia keluar dari toilet. Tanpa menghentikan langkah, dia membaca pesan WhatsApp yang baru masuk di ponselnya. Dari Ayah.

Have a nice day, Sunshine. Love you more than my car.

Liv tertawa geli. Panggilan kesayangan itu sudah ada sejak dia mulai bisa mengingat. Ayahnya hanya memanggil nama aslinya ketika sedang memberi nasihat. Namun, yang membuat Liv tertawa adalah pernyataan tentang ayahnya lebih mencintai dirinya dibanding mobil Corolla tua yang sangat dibanggakan ayahnya itu. Ya, tentu saja Liv percaya ayahnya menyayanginya, tapi mungkin sama besar dengan mobil tua berwarna merah yang tersimpan rapi di garasi rumah mereka. Ayahnya nyaris tidak pernah mengendarai mobil itu, kecuali ada pertemuan penting di klub mobil tua yang diikutinya.

If I were YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang