10. Kejutan Meresahkan

75 18 1
                                    

Liv berjalan menyusuri toko buku dengan bibir bersenandung. Tak lama kemudian, dia menoleh ke belakang, lalu berdecak.

"Lo jalannya lama banget, deh, kayak Putri Solo," komentar Liv.

Langit tetap menampilkan wajah tanpa ekspresi, juga tidak mempercepat langkah kaki. Hal itu membuat Liv kembali berdecak, lalu menarik tangan Langit dengan tidak sabar. Tanpa benar-benar menyadari apa yang sedang dilakukannya, bahkan tidak sadar pada tatapan yang diberikan Langit pada tautan tangan mereka. Cewek itu baru berhenti setelah mencapai bagian peralatan lukis.

"Hmm ... yang mana, ya?" gumam Liv seraya menatap botol-botol kecil berisi cat poster.

Hingga sepuluh menit kemudian, mereka masih berada di tempat itu.

"Pilih warna-warna dasar. Nanti tinggal dicampur," kata Langit datar. Namun, ada sedikit nada tidak sabar di dalamnya.

Liv mendongak, tanpa disangka justru menyunggingkan senyum.

"Lo tahu nggak? Kalau lagi kesel, muka lo itu mirip banget sama Tom." Liv berkata sambil kembali memilih cat poster.

Mengerutkan kening, Langit bergumam, "Tom?"

"Iya," jawab Liv. Tangannya mengulurkan botol-botol cat berisi warna dasar pada Langit. Merah, biru, dan kuning.

Langit mengambil warna hitam dan putih sebagai tambahan, lalu bertanya, "Tom siapa?"

Ketika Liv tidak juga menjawab, Langit kembali mengulang pertanyaannya. "Tom siapa, Livia?"

Liv menoleh, terlihat terkejut.

"Wow, ini pertama kalinya lo manggil nama gue! Siapa sangka gue harus bikin lo penasaran sama hal sepele sebelum akhirnya bikin lo mau nyebut nama gue?"

"Tom siapa?" tanya Langit lagi, mengabaikan rentetan kalimat Liv sebelumnya.

Cewek itu meraih satu botol berwarna tosca, sementara bibirnya menjawab, "Masa lo nggak tahu kartun Tom & Jerry?"

Bibir Langit tertarik hingga menjadi satu garis lurus.

Liv mendongak, tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya.

"Lo makhluk dari planet mana, sih, sebenarnya?" ejek cewek itu. Tawa kecil lolos dari bibirnya. "Lo harus lihat muka lo sekarang. Lucu. Hampir sama kayak tempo hari. Waktu gue bohong supaya bisa dinner di rumah lo."

Langit meraih botol warna tosca di tangan Liv, lalu meletakkannya kembali ke rak.

"Langit!" seru Liv tertahan. "Gue mau itu. Gue bayar sendiri, kok."

"Kita nggak butuh warna itu. Ayo," balas Langit.

Liv bersikeras ingin mengambil botol berwarna tosca yang dikembalikan Langit, yang tentu saja dicegah cowok itu. Namun, Liv tidak menyerah. Selama sesaat mereka saling menarik tangan satu sama lain. Sampai akhirnya sebuah suara familier menghentikan Liv.

"Kayla, sudah dapat kuasnya?"

Kepala Liv langsung menoleh ke sumber suara. Di depannya berdiri seorang cewek dengan seragam SMP. Namun, bukan cewek itu yang membuatnya membeku, melainkan seseorang yang berdiri di samping cewek itu. Orang itu tersenyum sambil membelai kepala si anak SMP.

Ayahnya.

"Aku boleh beli lebih dari satu, Pa?" tanya cewek itu.

Petir menyambar Liv. Dia yakin telinganya salah mendengar. Benar, pasti telinganya yang salah mendengar. Tidak mungkin cewek itu memanggil ayahnya dengan sebutan papa. Tidak mungkin.

Julian menggangguk. "Sepuluh pun boleh."

Cewek itu tersenyum lebar. Kembali sibuk memilih, lalu mendongak untuk menatap Julian. Dengan mata berbinar, juga senyum ceria.

If I were YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang