5. Tetangga

88 17 0
                                    

"Neng! Sarapannya!"

Seruan Bi Marni membuat Liv membelokkan langkah setengah berlarinya ke ruang makan. Cewek itu mengambil setangkup roti bakar, lalu meminum susunya dalam tegukan besar.

"Duh, Neng, pelan-pelan! Nanti keselek!"

"Telat, Bi!" sahut Liv panik.

Indra yang baru turun dari tangga, menatap adiknya dengan kening berkerut. Tangga rumah mereka memang langsung menuju ruang tamu, tetapi ruang makan berada tepat di sisinya. Hanya dipisahkan sebuah lemari kaca berisi foto-foto masa kecil Liv dan Indra.

Liv yang menangkap pandangan Indra segera menyunggingkan senyum sebagai sapaan.

"Ayah di mana?" tanya cewek itu.

Indra menggeleng, mengisyaratkan bahwa ayah mereka tidak pulang semalam.

Liv menghela napas. Sebelum kesedihan sempat menghampiri wajahnya, dia segera menampilkan senyum cerah. Mulutnya mengunyah roti bakar dengan cepat, untung saja tidak sampai membuat dirinya tersedak.

"Adra, mau bareng aku? Sekali-kali naik bus, irit BBM," kata Liv seraya bangkit berdiri, lalu menyandang ranselnya.

Sambil mengambil roti bakar untuk sarapannya, Indra membalas, "Adra nggak mau ketularan bau ketek kayak kamu."

Liv mencibir.

"Heran, deh, kenapa kamu nggak mau bawa mobil? Dicariin sopir juga nggak mau," ujar Indra seraya menyesap kopi, lalu mulai mengunyah roti.

"Jarak rumah ke sekolah tuh dekat banget, Adra. Aku ngerasa bersalah kalau pakai acara bawa mobil segala. Yang ada cuma nambah polusi, tahu?"

"Terus itu mobil di garasi mau kamu jual aja?" lanjut Indra.

Alih-alih menjawab pertanyaan kakaknya, Liv mencium pipi Indra, perbuatan yang sontak membuat kakaknya berseru kesal. Dengan tawa berderai, Liv berlari keluar dari rumah. Lari itu masih terus berlanjut sepanjang jalan menuju halte yang berada di depan kompleks. Ketika sampai di halte, Liv mengerjap karena melihat sosok yang dikenalnya—Langit—sudah terlebih dulu berdiri di sana.

Cowok dengan seragam sekolah yang sama seperti Liv itu tidak menoleh meskipun kedatangannya berisik. Seakan cewek itu tidak kasatmata.

"Lo ... tinggal ... di sini juga?" tanya Liv di antara napasnya yang berkejaran.

Respons Langit berupa lirikan sekilas. Tidak ada anggukan, tidak juga gumaman.

Liv mengusap peluh yang membasahi dahinya, lalu berdiri tepat di samping cowok itu.

"Lo tinggal di blok apa?" tanya Liv lagi. Kepalanya harus mendongak untuk menatap Langit, hanya untuk menemukan cowok itu tetap pada ekspresi datarnya. "Gue di blok F. Kalau ada tugas, kita bisa ngerjain bareng."

Tetap tidak ada sahutan.

"Lo pindahan dari mana? Bandung? Bogor? Atau dari luar pulau Jawa?" Liv bertanya terus.

Sama seperti Langit yang tidak peduli, Liv pun memutuskan untuk tidak ambil pusing. Cewek itu tidak merasa perlu menahan diri. Dia penasaran, karena itu dia menyuarakan keingintahuannya.

Entah mengapa, ada sesuatu dalam diri Langit yang menarik Liv. Mungkin karena wajah cowok itu hemat ekspresi. Atau mungkin juga karena Liv merasa ada sesuatu yang gelap terkubur jauh dalam hati Langit. Kegelapan yang mengancam akan menenggelamkan segala cahaya di sekitarnya, mengisap habis warna biru cerah yang seharusnya dimiliki langit di atas mereka.

Namun, sama seperti kemarin, pertanyaan apa pun yang Liv suarakan tidak dijawab. Sepuluh menit kemudian, bus yang mereka tunggu datang. Langit melangkah masuk lebih dulu, duduk di kursi dekat jendela, disusul Liv yang duduk di sampingnya.

If I were YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang