"Liv?"
Mendongak, Liv bertatapan dengan sahabatnya yang pagi ini terlihat lebih rapi dibanding kemarin.
"Oh, hai," balas Liv seraya mengusap matanya. "Ngapain pagi-pagi buta lo ke sini?"
Diaz mengulurkan plastik berlogo restoran cepat saji kesukaan Liv, sebelum duduk di samping cewek itu.
"Sarapan. Dan, ini." Tangan Diaz yang lain mengulurkan sebuket bunga mawar merah.
"Lo nyuruh gue makan ayam campur bunga?" tanya Liv jail, meski tak urung menerima barang-barang yang diberikan sahabatnya.
Diaz mengerjap. "Lo bisa ngeledek gue, berarti kondisi kakak lo sudah baikan?"
Kepala Liv mengangguk pelan, sementara kedua matanya tertuju pada mawar merah yang diberikan Diaz. Memang bukan hal aneh, tetapi Liv yang sudah sering diberikan bunga oleh sahabatnya itu bisa menyadari dua perbedaan besar. Pertama, warna bunga mawarnya tidak lagi kuning seperti biasa. Kedua, bunga di pangkuannya ini terlihat tak terlalu segar.
"Ini bunga hasil rampok atau gimana?" tanya Liv. "Tumben warnanya merah, agak layu pula."
"Gue beli bunga itu kemarin, makanya telat masuk kelas." Diaz menjawab enggan. "Terus kakak lo gimana?"
"Sudah sadar dari beberapa jam lalu," sahut Liv. "Dokter bilang kondisinya stabil. Beberapa hari lagi dia bisa keluar dari rumah sakit, tapi...."
"Harus masuk rehab?" sambung Diaz.
Lagi, Liv hanya mengangguk. Jemarinya menyentuh kelopak-kelopak mawar merah, dengan pikiran terfokus pada orang tuanya yang saat ini sedang berada di dalam kamar rawat kakaknya.
"Orang tua lo gimana?" tanya Diaz.
Liv mendesah. "Mereka ada di dalam. Seenggaknya mereka berhenti ribut setelah Adra siuman. Tapi gue nggak yakin bisa bertahan lama."
Keheningan menyeruak di antara mereka. Liv sibuk memikirkan keluarganya, sementara Diaz tak bisa membungkam perdebatan dalam benaknya yang berkaitan dengan cewek di sisinya.
"Lo pernah jatuh cinta nggak?" tanya Liv kemudian.
Diaz tersentak, mulutnya terbuka, tetapi tak ada suara yang keluar.
Liv melanjutkan, "Gue tiba-tiba penasaran aja. Dulu orang tua gue nikah alasannya apa? Kalau cinta, apa mungkin cinta mereka mulai luntur, makanya sekarang mereka selalu ribut? Atau karena kepepet umur, terus dijodohin, makanya dari awal sama sekali nggak ada cinta? Yang pernah gue dengar dari nenek gue, sih, bokap gue itu dari dulu memang gila kerja. Makanya dikenalin ke nyokap gue yang sama gila kerjanya. Hmm, mungkin karena alasan itu, ya?"
Diaz tidak merespons. Merasa dirinya tidak memiliki jawaban yang dibutuhkan Liv. Karena meski begitu ingin mengatakan semuanya akan baik-baik saja, Diaz tidak bisa. Diaz tidak berhak mengungkapkan harapan semu, apalagi kepada sahabatnya. Namun, cowok itu bisa menjawab pertanyaan pertama dari Liv.
"Gue pernah jatuh cinta," tutur Diaz sungguh-sungguh, dengan mata lurus menatap Liv. "Bagi gue sendiri, jatuh cinta itu ... tenang waktu dia ada di samping gue. Bahagia waktu gue bisa bikin dia ketawa. Tapi definisi cinta bagi setiap orang kan beda. Jadi, gue nggak bisa jawab pertanyaan lo soal orang tua lo."
Liv mengangguk dengan ekspresi paham. Sekali lagi mendapat pembenaran atas kalimat Langit kemarin. Hanya dia sendiri, atau dalam kasusnya adalah orang tuanya, yang bisa menjawab.
"Terus lo jatuh cinta sama siapa?" tanya Liv. "Kok, nggak pernah cerita sama gue? Jangan-jangan sudah jadian? Siapa orangnya?"
Pada saat itu, di ruang tunggu rumah sakit yang sepi karena hari masih pagi, Diaz begitu ingin mengungkapkan satu kalimat yang selama ini dia paksa tenggelam. Cowok itu bahkan tidak mengerti, mengapa sahabatnya masih bisa menanyakan hal semacam itu setelah segala hal yang selama ini mereka lalui bersama. Apa perasaannya masih tidak terlihat? Apa selusin lebih bunga mawar merah yang baru saja diberikannya tidak mampu menjelaskan?
KAMU SEDANG MEMBACA
If I were You
Fiksi RemajaLiv dan Langit. Dua remaja yang dipertemukan dengan luka hampir serupa. Liv adalah gadis ceria yang mudah bergaul, selalu menebar tawa kepada siapa pun yang ditemuinya. Orang-orang berpikir hidup Liv sempurna, meski kenyataannya Liv menutupi luka ka...