"Adra, mau makan apa, sih? Dipotongin buah segala macam masih utuh aja," omel Liv.
Indra yang sibuk mengganti saluran televisi membalas, "Kamu aja yang makan, sayang tuh sudah dikupas."
"Yang sakit kan Adra!" Liv berseru kesal. "Makan, sekarang!"
"Orang sakit nggak boleh dibentak-bentak, lho," sahut Indra dengan wajah tak berdosa.
"Adra!"
Pintu kamar rawat Indra terbuka, menampilkan sosok ibunya yang sore ini terlihat lelah seperti biasa, tetapi tetap berusaha menyunggingkan senyum di bibirnya.
"Kalian bertengkar lagi?" tanya ibu mereka seraya berjalan mendekat.
"Adra nggak mau makan, Bu," jawab Liv. Nadanya jelas-jelas mengadu.
Indra mengembuskan napas. "Aku bosan sama buah, Bu."
Nida langsung menanyakan menu apa yang ingin Indra makan malam ini, membuat Liv mencebikkan bibir, sementara Indra menyeringai senang dan tanpa ragu meminta ayam bakar.
"Ibu pergi beli makanan dulu. Kalian jangan ribut," ucap ibu mereka sebelum melangkah keluar dari kamar. "Oh, Armitha, ayah kamu sudah dalam perjalanan ke sini. Kamu siap-siap pulang sama dia, ya."
"Ayah?" tanya Liv bingung. "Bukannya malam ini jadwal jaga Ayah di sini?"
Ibunya hanya tersenyum sebelum menjawab, "Ada yang mau ayah kamu bicarakan. Nanti kamu ikut pulang, ya."
Setelah itu, Liv dan Indra ditinggalkan bersama keheningan serta sebuah tanda tanya. Tiga hari telah terlewati sejak Liv mengutarakan isi hatinya pada orang tuanya. Sejak itu, kedua orang tuanya tidak lagi berdebat. Setidaknya tidak di muka umum. Mereka benar-benar berusaha menyelesaikan masalah mereka.
"Ibu dan Ayah sepakat cerai, kan?"
Pertanyaan Indra itu menyentak Liv.
"Adra dengar waktu kalian ribut di luar waktu itu," jelas kakak Liv. Matanya menatap Liv tanpa ekspresi menghakimi. "Dan, kamu hebat, Liv."
"Hebat karena aku nyuruh mereka cerai, yang terus benar-benar mereka realisasikan?" balas Liv lirih. "Model anak durhaka banget ya aku ini."
Indra menggeleng. "Hebat karena kamu berani jujur sama mereka. Bukan kayak Adra, yang justru milih buat ngerusak diri sendiri sampai akhirnya—"
"Adra bakal baik-baik aja," tandas Liv. "Adra bakal sembuh. Setelah keluar dari rehab nanti, Adra bisa jadi orang baru. Adra masih bisa lanjutin hidup dengan lebih baik."
Indra tersenyum melihat keteguhan adiknya. "Kamu juga bakal begitu. Keputusan Ayah dan Ibu buat cerai pasti berat buat kamu, kan? Biarpun kamu bilang nggak keberatan, bahkan kamu yang ngasih ide itu duluan, tapi ... Adra ngerti. Proses ini nggak akan segampang yang kita bayangin, tapi juga nggak akan sesusah yang kita pikir. Karena itu, kamu harus fokus sama hal yang baik-baik, ya."
Liv tidak membalas. Rasa berat yang menggelayuti hatinya mengancam akan keluar dalam bentuk air mata.
"Kamu lebih dewasa sekarang. Kamu nggak sok ceria lagi. Kamu berani jujur. Kamu ... yah, kamu jauh lebih hebat daripada Adra. Dan, Adra bangga punya adik kayak kamu," lanjut Indra.
Mata Liv mulai menguarkan rasa perih, tak diragukan siap menggulirkan tetes-tetes air. Namun, Indra bergerak lebih cepat. Dia meraih adiknya ke dalam pelukan dan memberikan sedikit keyakinan yang masih dimilikinya.
"Kita hadapi sama-sama. Adra janji nggak akan lari dan ninggalin kamu sendiri lagi. Dan ... terima kasih, Liv. Terima kasih karena kamu tetap di sini...."

KAMU SEDANG MEMBACA
If I were You
Teen FictionLiv dan Langit. Dua remaja yang dipertemukan dengan luka hampir serupa. Liv adalah gadis ceria yang mudah bergaul, selalu menebar tawa kepada siapa pun yang ditemuinya. Orang-orang berpikir hidup Liv sempurna, meski kenyataannya Liv menutupi luka ka...