7. Benda Terlarang

78 17 0
                                    

Liv memasuki rumah dengan senyum tersungging. Terlebih saat mengingat makan malam yang baru saja dia lakukan bersama keluarga Langit, senyumnya melebar. Dia benar-benar senang bisa menghabiskan waktu bersama Oma yang hangat, Opa yang lucu, bahkan dengan Langit yang menyebalkan.

Tawa kecil lolos dari Liv ketika wajah kesal Langit melintasi benaknya. Cowok itu benar-benar tidak menyangka Liv akan mengerjainya. Harus diakui, Liv benar-benar merasa puas sudah melakukannya. Tujuan dia sebenarnya adalah mengulur waktu hingga Oma pulang agar dia bisa ikut makan malam. Namun, setelah dipikir ulang, tidak ada ruginya sekalian mengerjai Langit. Jadilah selama satu jam menunggu Oma pulang, Liv harus menahan tawa karena Langit terus bekerja keras mencari gambar sedangkan sketsanya sudah selesai.

"Ternyata dia bisa berekspresi juga," gumam Liv pada dirinya sendiri. Kakinya terus melangkah menaiki tangga.

Sesaat sebelum masuk ke kamar, cewek itu menoleh pada pintu kamar Indra. Lampunya dinyalakan, berarti kakaknya sudah di rumah. Masih dengan senyum mengembang, Liv meraih kenop pintu dan memutarnya. Dia tidak sabar ingin menceritakan acara makan malamnya pada Indra.

"Adra, aku...."

Ucapan Liv terhenti tatkala matanya bertemu pandang dengan kakaknya, pada sesuatu yang sedang kakaknya hirup. Napasnya seakan tercerabut ketika menyadari butiran halus berwarna putih itu bukan bubuk biasa. Terlebih mata Indra yang memerah dan ekspresinya yang tidak fokus. Liv mati-matian menahan jeritan, tertatih menghampiri kakaknya untuk benar-benar memastikan.

Indra langsung meraih selimut untuk menutup bungkus-bungkus berisi bubuk putih itu. Beberapa di antaranya berhamburan dan mengotori lantai. Namun, di detik pertama melihatnya pun, Liv sudah tahu benda apa itu. Itu bukan susu, tepung, apalagi bedak. Bubuk putih itu benda terlarang.

Tangan Liv mengepal erat. Selaput bening mulai mengaburkan pandangannya.

"Liv—"

"Kenapa?" sela Liv. Lirih. Nyaris seperti angin yang berbisik.

"Livia—"

"Kenapa, Adra?" tanya cewek itu lagi. Setetes air mata melintasi wajahnya, menciptakan jejak berkilau.

Indra menyandarkan tubuhnya ke ranjang, memeluk lutut, lalu menundukkan kepala.

Liv mengambil tiga langkah panjang dan bersimpuh di hadapan kakaknya. Mengguncang bahu sang kakak dengan isak yang perlahan dan terdengar menyakitkan.

"Adra! Jawab aku!" tuntut Liv, air matanya luruh. "Adra tahu benda itu terlarang! Adra tahu benda itu bahaya! Adra tahu benda itu bisa bikin aku kehilangan Adra! Tapi ... kenapa? Kenapa Adra...."

Sisa ucapan Liv tertelan isak tangisnya.

"Kenapa.... Adra.... Kenapa...."

Liv pun berhenti mengguncang bahu Indra. Cewek itu terduduk. Air mata masih mengaliri wajah, bersama ratapan yang membuat kamar itu semakin sesak.

Entah berapa lama waktu berlalu, Indra akhirnya mengangkat kepala. Matanya sembap. Tanpa kata, Indra mengulurkan tangan, lalu membawa Liv ke dalam pelukan. Meski sempat menolak, Liv akhirnya menyerah. Dia menumpahkan air mata pada bahu kakaknya. Satu-satunya orang yang dia pikir paling dikenalnya, tetapi baru saja dibantah keras oleh kenyataan. Liv tidak benar-benar mengenal kakaknya.

"Maafin Adra...." bisik Indra dengan suara berat. "Adra janji bakal berhenti. Adra janji. Tapi, tolong ... jangan bilang soal ini ke Ibu dan Ayah. Adra mohon.... Kalau mereka sampai tahu, masalahnya bakal makin besar. Kamu tahu mereka gimana. Karena itu, tolong jangan bilang apa-apa. Adra janji bakal berhenti."

Liv tidak menjawab. Cewek itu masih sibuk dengan tangisnya. Bagaimana mungkin dia bisa mengiakan permintaan kakaknya? Liv baru saja melihat hal yang sangat menghancurkan. Lebih dahsyat efeknya dibanding pertengkaran yang selama ini mewarnai keluarga mereka. Jika terjadi sesuatu pada Indra, Liv tidak akan bisa bertahan. Sudah tidak ada alasan bagi Liv untuk mempertahankan hidupnya bila Indra tidak ada.

If I were YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang