9. Ingkar

79 19 0
                                        

Liv duduk di tepi lapangan basket dengan senyum lebar. Jam menunjukkan pukul empat sore, masih ada setengah jam tersisa hingga waktu yang dijanjikan ayahnya. Sambil menunggu, Liv memutuskan untuk menghubungi kakaknya. Namun, panggilannya ditolak.

"Ih, Adra," keluh Liv sambil mencebikkan bibir. Tangannya dengan cepat mengirimkan satu pesan singkat.

Armitha Lalivia: Adra, kok nggak diangkat?

Armitha Lalivia: Adraaaaaaaaaa!!!

Liv menggigit bibir. Perasaannya tiba-tiba dirundung kecemasan. Tanpa berpikir panjang, dia kembali mengetikkan pesan lainnya.

Armitha Lalivia: Adra gpp, kan?

Arya Ravindra: Lagi di kelas. Sori gak angkat telepon. Kamu jadi main basket?

Liv mengembuskan napas lega. Senyumnya kembali terulas. Kakaknya baik-baik saja. Kakaknya akan menepati janji. Semua akan baik-baik saja.

Armitha Lalivia: Jadi. Ini lagi nunggu Ayah. See u at home ;)

Arya Ravindra: Ok.

Setelah mengirim satu pesan lain untuk Diaz—mengingatkan tentang acara bermain basket di lapangan kompleks rumahnya—Liv pun memasukkan ponsel ke dalam tas. Cewek itu bangkit berdiri, mulai melakukan pemanasan dengan meloncat-loncat dan berlari pelan. Ketika selesai, dia kembali ke tepi lapangan untuk mengambil bola basket. Matanya sekali lagi melirik jam berwarna tosca yang melingkari pergelangan tangan. Masih ada waktu lima belas menit sebelum Ayah datang.

Liv akan menunggu.

***

Langit melangkahkan kakinya tanpa tujuan. Sungguh, bukan suatu hal yang baru, mengingat hidupnya saja kini tidak memiliki tujuan.

Senja sudah menyapa, membawa jingganya yang mewarnai langit Kota Jakarta secara sempurna. Udara yang masih terasa hangat menyentuh kulit terbuka. Sementara lampu-lampu jalan mulai dinyalakan, Langit terus berjalan, hanya terus berjalan.

Ketika sampai di persimpangan, Langit berbelok ke kanan. Tak jauh di depannya ada sebuah lapangan basket serta lapangan sepak bola. Lapangan sepak bola dipenuhi oleh anak-anak berseragam putih biru, sementara lapangan basketnya kosong. Langit meneruskan langkah menuju lapangan basket, dan tertegun ketika menyadari bahwa ada seseorang di sana.

Liv.

Cewek itu mengenakan kaus putih dengan celana pendek berwarna hijau. Kepalanya menunduk memandangi ponsel. Tak jauh darinya terparkir sebuah sepeda dengan keranjang menempel di depannya. Penampilan sepeda itu membuat Langit mengerutkan kening.

Cewek SMA macam apa yang masih pakai sepeda model begitu? batin Langit.

Kerutan di kening Langit semakin dalam ketika Liv menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bahunya bergerak naik turun dengan cepat. Cewek itu seperti sedang ... menangis. Namun, satu detik berikutnya, Liv bangkit berdiri dan Langit bisa melihat wajah cewek itu kering, tidak seperti dugaannya. Cewek itu hanya terlihat sangat kecewa. Tidak ada senyum secerah mentari di bibirnya.

Liv meletakkan bola basket ke dalam keranjang, lalu menyandang ransel dan menaiki sepeda. Langit pun membalikkan tubuh. Malam akan segera menjelang. Oma pasti akan cemas jika dia tidak segera pulang.

BRAKKK!!!

Suara itu membuat Langit memutar tubuhnya dengan cepat. Benar saja, cewek itu jatuh dari sepeda. Entah apa yang sebenarnya membuat Liv terjatuh, tetapi rintihan sakitnya membuat Langit urung berjalan pulang. Dia mengubah langkahnya ke arah Liv.

Langit berhenti di hadapan Liv yang sedang meniup salah satu lututnya. Cewek itu terluka. Sikunya pun mengalirkan darah. Dengan keadaan seperti itu, mustahil Liv bisa pulang sendiri.

If I were YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang