13. Pecah

63 17 0
                                    

"Saya...." Raya meremas kedua tangannya, lalu berdeham, "Ayah kamu banyak cerita, Livia. Dia sering kasih lihat foto kamu ke saya dan anak saya. Dia—"

"Dia ayah saya," sela Liv. "Dia bukan ayah Kayla juga, kan?"

"Bukan!" tukas perempuan itu. "Kayla anak dari mantan suami saya. Kami bercerai dua tahun yang lalu, waktu Kayla masuk SMP."

"Setelah bercerai, Bu Raya langsung cari ayah saya?" kejar Liv dengan suara yang mulai bergetar. Seluruh foto ayahnya di rumah itu memberinya sayatan tambahan.

Raya menggeleng. "Kami bertemu secara tidak sengaja. Saya bekerja di pabriknya dan—"

"Ibu mutusin buat jadi orang ketiga?"

"Livia," tegur Langit pelan.

Bagai tidak mendengar peringatan cowok di sisinya, Liv melanjutkan, "Banyak orang miskin di luar sana, tapi baru kali ini saya ketemu sama yang nggak tahu malu dan nggak punya harga diri. Bu Raya tahu, kan? Ayah saya bukan duda. Dia punya istri dan dua anak di rumahnya. Kenapa Ibu biarin dia ... ngelakuin semua ini?"

"Saya nggak bermaksud menyakiti siapa pun—"

Liv tertawa tanpa humor, lalu berkata, "Ini dialog yang kalian latih bareng-bareng? Nggak bermaksud menyakiti, tapi nyatanya tetap menyakiti."

"Saya tahu semua ini kelihatan seperti pengkhianatan di mata kamu, tapi saya berani bersumpah, nggak ada apa-apa di antara ayah kamu dan saya. Dia cuma bantu anak saya, karena setelah perceraian itu, Kayla seperti ... kehilangan semangat hidup. Kehadiran ayah kamu membantu Kayla untuk bangkit lagi. Dia menjadi figur seorang ayah yang dibutuhkan Kayla dan—"

"Mama! Ada tamu, ya?"

Seruan itu membekukan mereka semua. Kayla berdiri di depan pintu dengan senyum yang perlahan memudar tatkala matanya menangkap sosok Liv. Cewek berseragam putih biru itu menoleh ke belakang, gerakannya bisa dikategorikan panik. Namun, sebelum dia bisa melakukan apa pun, ayah Liv sudah berhenti di sisinya.

"Kayla, kenapa berhenti di pintu?"

Pertanyaan yang disuarakan oleh ayah Liv itu membuat kebekuan terpecahkan. Bagai api yang disiram bensin, Liv bangkit berdiri dan menghampiri Kayla. Ekspresinya yang disapu amarah membuat Kayla ingin bersembunyi. Seumur hidup, belum pernah dia ditatap dengan kebencian sebesar itu.

"Dia ayah saya, bukan ayah kamu!" hardik Liv dengan kegusaran yang terlihat jelas. "Kamu punya ayah sendiri. Kalau dia pergi, atau bahkan jahat, itu bukan urusan saya. Nggak lantas bikin kamu berhak ngerebut ayah orang lain juga!"

"Sunshine—"

Liv melirik ayahnya dengan mata yang mulai terselimuti selaput bening, lalu kembali menatap Kayla.

"Kamu sekolah, kan?" tanya Liv tajam. "Diajari nggak, kalau jadi perusak kehidupan orang lain itu bukan tindakan terpuji? Kalau saya jadi kamu, saya pasti malu karena—"

"Livia, berhenti," potong ayahnya tegas.

Namun, Liv tetap melanjutkan, "Karena punya ibu yang berprofesi sebagai perempuan simpanan."

"Livia!"

Sentakan itu diikuti tangan Julian yang menarik lengan Liv hingga cewek itu terdorong ke belakang. Liv berjengit, air matanya pun menetes. Sejak kecil, dia sudah biasa mendapat perlakuan tidak hangat dari ibunya, tetapi tidak dari ayahnya. Semarah apa pun ayahnya, kenakalan atau kesalahan apa pun yang diperbuat Liv dan Indra, tidak pernah sekali pun sang ayah berteriak apalagi sampai mendaratkan tangan pada anak-anaknya. Biasanya, Julian hanya diam dengan bibir tertarik menjadi satu garis lurus. Setelah keadaan tenang, barulah Julian menasihati. Seperti itu cara Julian membesarkan Liv dan kakaknya.

Sekarang, cuma karena anak ini, yang bahkan bukan darah dagingnya sendiri ... Ayah berubah? batin Liv pilu.

"Anggap aja aku nggak pernah ada. Toh, sekarang Ayah sudah punya anak perempuan lain yang lebih Ayah sayang," geram Liv seraya berlari pergi.

"Livia!"

Tanpa mengindahkan teriakan ayahnya, Liv mengayunkan kaki semakin cepat. Telapak kaki yang hanya terlapisi kaus kaki tidak bisa melindungi dari segala macam benda tajam di jalan, hingga puncaknya, dia merasakan sesuatu menusuk kakinya. Namun, hal itu tidak melambatkan larinya. Liv terus berlari.

Begitu mencapai jalan raya, Liv mengulurkan tangan untuk menghentikan taksi. Sayangnya, taksi itu sudah berpenumpang. Sungguh hal sepele, tapi sanggup membuat tangis Liv semakin keras. Cewek itu pun berjongkok, sementara wajahnya dibenamkan pada lipatan tangan. Tak lama, terdengar suara mobil berhenti di sisinya.

"Sunshine...."

Panggilan itu tidak membuat Liv mendongak, justru isaknya semakin menyesakkan.

"Sunshine, tolong berdiri. Ayo, kita ke tempat yang lebih tenang," bujuk Ayah.

Liv mengangkat wajah, lalu menghapus air matanya dengan kasar. Dia bangkit dengan cepat, tetapi terhenti karena rasa perih di telapak kaki kanannya. Cewek itu memekik kesakitan.

"Livia, kamu kenapa?" tanya Julian cemas.

Cewek itu mengangkat kakinya dan melihat warna merah sudah menodai kaus kaki putihnya. Ada sebuah pecahan kaca kecil menancap di sumber luka itu.

"Livia!" seru Julian tertahan. Tangannya terulur untuk meraih anak bungsunya, yang terang saja ditolak. "Kenapa kaki kamu bisa berdarah seperti ini? Sayang, tolong pegang tangan Ayah. Jangan sampai pecahannya menusuk lebih dalam."

Julian semakin panik, tapi Liv justru menghentikan tangis. Rasa sakit dari kakinya itu baru terasa dan mampu mengalihkan perhatian Liv selama sesaat dari perih di hatinya. Membuatnya tenang secara tiba-tiba.

"Sunshine, kita harus ke rumah sakit sekarang," ucap Julian seraya menyentuh tangan Liv.

Menepis tangan ayahnya lagi, Liv lalu menggeleng.

"Nggak usah pura-pura peduli sama aku," sahutnya dingin. Cewek itu kemudian menoleh ke belakang, menemukan Langit berdiri tanpa ekspresi apa pun di wajah tampannya.

"Langit!" panggil Liv lantang. "Bisa tolong gue?"

Permintaan itu membuat Langit berjalan menghampiri Liv. Mata cowok itu mengikuti arah tunjuk Liv, pada kakinya yang mengeluarkan darah. Sementara di tangan Langit ada sepasang sepatu Liv yang ditinggalkan tadi.

"Anterin gue, ya? Naik taksi aja, nanti gue yang bayar," kata Liv dengan nada biasa, meskipun kedua matanya sembap.

Perubahan yang sangat mendadak itu membuat Langit dan ayah Liv terpaku. Pasalnya, tidak sampai satu menit yang lalu, cewek itu menangis hebat hingga terisak-isak.

"Langit, lo dengar nggak? Ayo," lanjut Liv ringan.

Langit menoleh pada ayah Liv, begitu mendapat sebuah anggukan, barulah dia bergerak untuk menghentikan taksi. Setelah taksi berwarna biru itu berhenti, Liv langsung masuk dengan langkah tertatih. Ayah Liv menghampiri sisi pengemudi, lalu memberikan dua lembar uang seratus ribuan. Setelah itu, dia beralih pada Langit dan berpesan untuk menjaga anak bungsunya. Ucapan itu disambut anggukan oleh Langit dan dengusan dari Liv.

"Tolong jalan, Pak," perintah Liv. "Kita berhenti di rumah sakit atau klinik terdekat."

Taksi pun melaju, bersama hening yang membungkus dua penumpangnya.

***

If I were YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang