27. Memaafkan

66 15 0
                                    

"Jangan lupa besok kita ada acara di Jakarta Timur," kata Liv dengan mata lurus pada layar ponsel. "Di SMA yang ada di dalam kompleks Angkatan Darat itu, lho."

            Sejak menyelesaikan Ujian Nasional, Liv dan Langit disibukkan berbagai gerakan anti narkoba. Mereka menemukan perkumpulan orang-orang yang menjadikan hidup sehat tanpa narkoba di kalangan remaja sebagai misi dan aktif mengadakan seminar dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Tujuannya hanya satu; mencegah semakin banyak korban remaja berjatuhan karena benda terlarang itu.

            "Gue nggak pernah lupa," sahut Langit yang duduk di balik kemudi. "Siapa yang hari ini bikin kita telat setengah jam, sampai MC harus jadi pelawak dadakan di panggung?"

            Liv mencebikkan bibir, tetap fokus pada ponselnya. "Siapa suruh lo gangguin gue sampai jam dua semalam? 'Livia, sudah tidur? Gue nggak bisa tidur, kangen lo....'"

            "Heh!" protes Langit seketika. "Gue nggak pernah bilang kangen lo, ya."

            "Oh, gitu? Ya sudah, gue kangen Diaz aja, deh," balas Liv jail.

            Langit mengembuskan napas dengan suara keras, lalu menghentikan mobil di depan rumah Liv. "Kadang gue nggak ngerti kenapa gue mau jadi cowok lo."

            "Whoa, tunggu!" Liv langsung menoleh pada cowok di sisinya, yang senja ini terlihat rapi dengan celana jins hitam juga kemeja flanel merah. "Bukan gue ya, yang beberapa bulan lalu cemburu buta, minta jadi satu-satunya orang yang boleh meluk gue, terus besoknya di sekolah bikin pengumuman kalau kita jadian. Padahal lo bahkan nggak nanya dulu gue mau atau nggak jadi cewek lo."

            Langit mengulurkan tangan, lalu mencubit pipi Liv keras-keras.

            "Langit!" seru Liv panik. "Lepas! Kalau sampai hitungan ketiga nggak lo lepas, kita—"

            "Putus?" tantang Langit, tetapi tak urung dia melepaskan pipi Liv. "Gue heran, kenapa lo lebih sering ngomong putus daripada bilang sayang sama gue."

            "Mungkin karena gue sayangnya sama Diaz," balas Liv dengan senyum manis.

            Langit membelalakkan mata, membuat tawa Liv terlepas. Seketika itu juga, rasa kesal Langit menguap. Melihat Liv tertawa saja sudah cukup untuknya. Keisengan macam apa pun yang dilakukan cewek itu jadi tidak berarti apabila akhirnya Langit bisa membuat Liv tertawa.

            Suara dering ponsel Langit menghentikan tawa Liv. Cowok itu melihat layar sekilas, sebelum mematikan panggilan. Liv yang sering bersama Langit ketika hal semacam itu terjadi, tahu bahwa orang di ujung sambungan adalah ibu Langit. Sampai hari ini, Langit masih tidak mau membicarakan tentang ibunya dengan Liv, apalagi menerima teleponnya. Namun, Liv tidak mendesak. Dia membiarkan Langit membuat pilihannya sendiri.

            "Hari ini jadwal gue pilih menu makan malam," kata Liv ringan. Dia dan ibunya memang bergantian memilih menu makan malam setiap hari. "Mau makan di sini nggak?"

            Langit menggeleng. "Lain kali aja."

            Liv tidak memaksa. Meskipun kini berpacaran, mereka sama-sama menghormati ruang masing-masing. Masih ada beberapa luka yang lebih baik dipasrahkan pada waktu proses kesembuhannya.

            "Ya sudah, gue turun, ya," pamit Liv seraya melepas sabuk pengaman. "Jangan lupa besok—"

            "Gimana lo bisa maafin bokap lo?"

            Pertanyaan Langit yang tiba-tiba itu membekukan Liv. Cewek itu jelas tidak siap menghadapinya.

            "Bokap gue?" gumam Liv tidak mengerti.

            "Setelah kejadian Kayla dan ibunya waktu itu," jelas Langit. "Terus sekarang mereka rencana mau nikah. Padahal bokap lo belum lama cerai dari nyokap lo. Dilihat dari sisi mana pun, kelihatan jelas kalau bokap lo...."

            "Oh, itu," sambung Liv tenang. "Lo benar, bagaimanapun Ayah bilang nggak selingkuh, nyatanya dia memang begitu. Tapi, gue nggak mau fokus sama satu hal itu aja. Ya, gue kecewa. Gue mau marah, ngamuk, teriak betapa nggak adil dia sama Ibu. Betapa dia nggak adil sama gue dan Adra. Tapi Ayah juga manusia biasa. Dia bisa salah."

            Liv menautkan jemarinya di atas pangkuan. Merasakan berat menggelayuti hatinya seperti biasa ketika dia mengingat kesalahan ayahnya. Terkadang, Liv sampai menekan dadanya, seolah berusaha mencari sumber rasa sakit yang menjalari. Namun, luka itu tidak terlihat. Luka itu tertoreh jauh di dalam hatinya.

"Tapi, daripada bikin diri sendiri capek karena marah dan sebagainya, gue milih buat maafin. Setiap hari, bahkan setiap gue ingat kejadian itu. Setiap kali gue ingat Ayah, Kayla, juga Bu Raya, gue selalu milih buat maafin mereka. Karena gue nggak mau kehilangan Ayah. Jadi, gue mulai ingat setiap kebaikan-kebaikannya."

Liv mengangkat bahu, sebelum menatap Langit. "Nanti lo juga bakal ngerti. Pada saatnya nanti, waktu lo ngerasa capek sama rasa marah lo, lo pasti bakal maafin nyokap lo. Bukan hal gampang, tapi nggak mustahil juga. Setiap hari, lo bakal milih buat maafin nyokap lo sampai ... jadi kebiasaan. Sampai maaf itu bukan pilihan lagi, tapi benar-benar lo kasih."

Langit tidak bersuara, membiarkan setiap kata dari pacarnya meresap ke dalam benaknya. Perlahan, Langit meletakkan satu tangannya di wajah Liv, lalu tersenyum.

"Gue pikir gue nggak bisa sayang lo lebih dari kemarin," gumamnya. "Tapi lo baru aja ngebuktiin kalau gue bisa sayang lo lebih lagi."

Liv tertawa, lalu menggeleng. "Gue nggak tahu lo ternyata bisa lebih norak dari Diaz soal kayak gini."

Mendengar nama Diaz disebut lagi, Langit segera menarik tangannya dan memasang wajah datar. Liv menahan tangan Langit, kemudian menyatukan jemari mereka hingga saling menggenggam satu sama lain.

"Gue juga sayang sama lo," ucap Liv lembut. "Jangan lama-lama, ya, ngerasa marah sama nyokap lo. Bukan karena dia pantas dapat maaf lo, tapi karena gue mau lo benar-benar bahagia."

Langit tersenyum. "Lo bikin gue bahagia. Dan, itu cukup."

Meski bukan jawaban yang diharapkannya, Liv lagi-lagi tidak mau mendesak. Jika ada satu hal yang benar-benar dia pahami dalam hidup, hal itu adalah hati membutuhkan waktu tersendiri untuk rekat kembali. Jika saat ini Langit masih belum siap, Liv hanya akan terus berada di sisinya.

Menjadi temannya, juga seseorang yang bisa memberinya kebahagiaan.

***

If I were YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang