Sebuah ketukan di pintu kamarnya yang sedikit terbuka membuat Langit menoleh. Tangannya yang sedang membongkar tas terhenti di udara.
"Boleh Oma masuk?" tanya Oma seraya membuka pintu lebih lebar.
Langit yang mengerti bahwa pertanyaan omanya hanya basa-basi belaka, segera menurunkan tas ke lantai dan duduk di pinggir ranjang.
"Gimana kabar Aga?" Oma bertanya sambil menjatuhkan diri di samping Langit. Cucunya itu baru pulang setelah melewatkan satu minggu di rumah keponakannya, yang Langit panggil dengan sebutan Mang Aga.
"Sehat, Oma," jawab Langit segera. "Mang Aga sama Bibi Mira titip salam, katanya liburan akhir tahun mungkin mau main ke sini."
Oma mengangguk-angguk, lalu berkata, "Livia datang cari kamu beberapa hari lalu."
Mendengar nama itu, seluruh tubuh Langit menjadi kaku. Dia mengalihkan tatapan. Oma melihat reaksi cucunya yang tiba-tiba tertarik dengan permukaan lantai, akhirnya tidak bisa menahan senyum.
"Langit," panggil Oma. Perempuan itu terus mengulang panggilannya hingga cucu laki-lakinya menoleh, baru melanjutkan, "Kenapa kamu marah sama Livia?"
Lagi, hanya keheningan yang menyambut. Oma sudah memperkirakan hal itu, karena Langit di hadapannya dengan Langit yang dikenalnya tahun lalu adalah orang yang berbeda. Bukan berarti tidak lagi dikenali, hanya membutuhkan lebih banyak kesabaran juga usaha untuk memahami.
"Di rumah ini, siapa yang bisa angkat galon air untuk dispenser?"
Pertanyaan Oma yang melenceng jauh dari pembahasan membuat kening Langit berkerut.
"Aku," jawab Langit pelan.
"Kenapa bukan Oma atau Opa?" tanya Oma lagi.
Mata hitam Langit mengerjap, masih memancarkan kebingungan. "Karena aku bisa. Oma dan Opa sudah nggak seharusnya angkat barang-barang berat."
Oma mengangguk. "Karena kamu kuat angkat galon air, sedangkan Oma dan Opa nggak. Menurut kamu, hal itu mungkin sepele. Tapi, bagi Oma dan Opa, hal itu bisa jadi masalah besar. Sama halnya seperti keadaan kamu dan Livia. Beban yang menurut kamu berat, mungkin bisa diatasi Livia. Biarpun dia bisa, bukan berarti mudah. Dia masih harus berusaha. Kamu paham maksud Oma?"
Langit tidak menjawab, hanya terus menatap omanya.
Mendesah, Oma menatap dinding kamar cucunya yang bersih dari hiasan atau foto apa pun. Padahal dulu, Langit sangat suka memajang foto-foto yang diambilnya untuk klub fotografi. Langit selalu berkata kemampuannya sangat biasa, tetapi sepuluh album foto berisi wajah seseorang yang telah meninggalkan mereka merupakan fakta tidak terbantahkan akan kehebatan Langit. Sayangnya, bersamaan dengan perginya seseorang itu, keinginan Langit untuk mengabadikan setiap momen pun ikut pergi.
"Kamu dan Livia mungkin menghadapi masalah yang hampir serupa, tapi kamu lupa kalau kesanggupan kalian buat nahan beban itu nggak sama. Kita nggak bisa ngukur beban siapa yang paling berat, Langit. Begitu juga dengan luka hati. Dalamnya lautan bisa diukur, tapi hati manusia siapa yang tahu?" Oma menarik napas dalam-dalam, lalu berujar, "Seperti kamu dan Pelangi."
Langit langsung memelesat berdiri, dia menatap omanya dengan tidak percaya.
"Langit—"
"Nggak."
Oma menarik tangan Langit, memaksa cucunya itu untuk kembali menatapnya. "Kamu dan Pelangi adalah buktinya. Kalian punya masalah yang sama, tapi reaksi kalian pada masalah itu berbeda. Kalian pilih jalan yang menurut kalian terbaik, jalan apa pun asal beban itu—"
"Aku nggak mau ngomongin soal ini," tukas Langit dingin.
Oma melepaskan tangan Langit, tetapi air matanya menetes tanpa bisa ditahan lagi. Melihat cucunya masih terluka, terus berlari dari kenyataan, sungguh menyayat hatinya.
"Oma.... Maaf." Suara Langit melunak. Dia kembali duduk, meski satu tangannya mencengkeram rambut kuat-kuat. Sejak hampir melakukan hal terkutuk itu berbulan-bulan yang lalu, Langit sudah berjanji pada dirinya bahwa dia tidak akan membuat Oma sedih lagi. Sudah cukup segala penderitaan perempuan baya itu yang disebabkan olehnya.
"Maaf, Oma," ucap Langit sungguh-sungguh.
"Oma cuma mau kamu melanjutkan hidup lagi, Langit," sahut Oma. "Oma nggak mau kamu terus merasa sakit seperti ini. Dan, Livia bikin kamu bahagia, karena itu Oma nggak bisa tinggal diam. Oma nggak mau kamu maksa satu-satunya orang yang kamu pedulikan untuk pergi jauh."
Langit tidak membantah, lebih karena dia tidak ingin membuat omanya menangis, bukan karena benar-benar setuju. Benaknya sudah dipenuhi berbagai kenangan menyakitkan yang sungguh tak lagi ingin diingatnya. Karena terbukti, perjalanannya kembali ke Pangandaran tidak membuahkan apa-apa. Sesaknya masih terasa. Sama seperti hari-hari kemarin. Tidak ada yang berubah.
Oma menghapus air matanya. "Bicarakan masalah kamu dan Livia. Jangan marah. Marah nggak pernah menyelesaikan masalah. Coba lihat dari sudut pandang Livia, apa yang akan kamu lakukan kalau jadi dia? Berhenti jadikan luka kamu sebagai tolok ukur segalanya, Langit. Karena kita nggak pernah tahu seberapa besar kesanggupan orang lain untuk menahan beban."
Setelah mengatakan itu, Oma melangkah keluar dari kamar Langit. Meninggalkan cucunya duduk dengan bahu yang tidak lagi tegak. Membiarkan setiap kenangan menguasainya, hingga luka lama itu kembali muncul di permukaan.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/162064901-288-k252316.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
If I were You
Dla nastolatkówLiv dan Langit. Dua remaja yang dipertemukan dengan luka hampir serupa. Liv adalah gadis ceria yang mudah bergaul, selalu menebar tawa kepada siapa pun yang ditemuinya. Orang-orang berpikir hidup Liv sempurna, meski kenyataannya Liv menutupi luka ka...