12. Penelusuran

61 15 0
                                    

Liv memasukkan peralatan tulis ke dalam ransel dengan gerak lambat. Bukan karena sedang sakit, tapi karena dia tidak bersemangat. Selama satu hari penuh, Liv benar-benar tidak tahu apa yang dia pelajari. Segalanya terasa sulit untuk dicerna. Cewek itu tidak bisa berkonsentrasi.

"Liv, lo kenapa?" tanya Diaz. Entah untuk yang keberapa kali hari itu.

"Lagi nggak mood aja," jawab Liv lesu.

Diaz mendesah. Bukan hanya tidak bersemangat, Liv terlihat seperti orang yang kehilangan cahaya hidup. Wajahnya sembap, bibirnya melengkung ke bawah, dan matanya sama sekali tidak fokus. Seakan ada sesuatu dalam benaknya yang membuat Liv lumpuh.

"Liv—"

Ucapan Diaz terhenti tatkala sebuah kertas diletakkan di meja Liv. Diaz dan Liv mendongak, menatap Langit yang tanpa kata langsung berbalik pergi.

Liv meraih kertas itu. Keningnya berkerut sesaat sebelum matanya terbelalak lebar.

"Liv?" panggil Diaz. "Itu apa? Alamat?"

Tanpa menjawab pertanyaan sahabatnya, cewek itu memasukkan buku-bukunya secara asal, lalu berlari meninggalkan kelas. Sama sekali tidak menggubris teriakan Diaz. Liv hanya tahu bahwa dia harus mengejar Langit. Rasa panik menguasai Liv ketika matanya tidak melihat sosok Langit di depan gerbang sekolah. Tanpa membuang waktu, cewek itu segera berlari menuju halte.

"Langit!" jerit Liv begitu melihat sosok jangkung dengan ransel hitam. "Langit! Tunggu!"

Langit menoleh. Wajahnya tetap bersih dari ekspresi.

"Ini...." Liv mengatur napas. "Ini alamat ... dia? Alamat anak itu?"

Langit mengangguk.

"Gimana lo bisa dapat alamatnya?" tanya Liv dengan laju napas yang mulai normal.

"Gue tanya sama dia kemarin," jawab Langit ringan.

Liv terdiam. Kepalanya menunduk menatap kertas pemberian Langit. Ada dua baris kalimat di sana. Menerakan sebuah alamat yang berada di dekat pabrik ayahnya. Tentu saja Liv tahu, karena tidak hanya satu kali Liv berkunjung ke sana.

"Kenapa?" tanya Liv lirih.

Langit mengerjap. Ekspresi tidak mengerti menguasai wajahnya.

"Kenapa lo ngasih alamat ini ke gue?" desak Liv.

Hening. Mereka berdiri berhadapan di tepi jalan dengan benak yang sibuk memikirkan dua hal berbeda. Akhirnya Langit berdeham.

"Gue berharap nggak perlu ngasih alamat ini ke lo," jawab Langit akhirnya. "Tapi hari lo justru kelihatan lebih murung dari kemarin. Jadi, mungkin datang ke rumah anak itu bisa ngasih jawaban yang lo cari. Bisa ngasih penjelasan yang lo butuhin."

Liv tertegun. Apa dia memang semudah itu terbaca oleh orang lain? Apa kegundahannya bisa dengan mudah dimengerti?

Langit bersiap untuk pergi, tetapi Liv menahannya. Satu tangan cewek itu mendarat di lengan Langit, membuat cowok itu berhenti bergerak dan menunduk untuk menatap Liv.

"Lo harus temenin gue," jelas Liv. Ketika Langit tetap diam, dia melanjutkan, "Gue butuh lo. Please?"

Selama sesaat, Langit berpikir untuk menyuruh Liv meminta Diaz yang mengantar. Itu lebih masuk akal, bukan? Diaz adalah sahabat Liv. Namun, entah mengapa, Langit tetap diam. Bibirnya tidak mengeluarkan suara.

Kenapa? tanya Langit dalam hati. Kenapa gue peduli sama cewek ini? Buat apa gue ngelakuin semua ini? Bukannya gue sudah janji sama diri sendiri nggak akan terlibat di hidup orang lain?

"Itu busnya!" seru Liv tiba-tiba. Dengan cepat dia menyeret Langit menuju bus, lalu mendorong cowok itu masuk.

Pertanyaan dalam benak Langit pun masih tidak terjawab.

***

Dua jam kemudian, akhirnya mereka hampir sampai di tempat tujuan. Dikatakan hampir sampai sebab untuk mencapai alamat di secarik kertas itu, masih dibutuhkan perjalanan kaki sejauh kurang lebih lima ratus meter.

Liv mengusap peluh di dahi dengan punggung tangan, lalu bergumam, "Pulangnya kita naik ojek online atau taksi sekalian. Gila, masih sama-sama Jakarta aja kayak keluar kota gini."

Langit hanya melirik cewek yang terlihat kusut di sisinya, tidak bersuara.

"Bu, permisi." Liv menahan langkah seorang perempuan paruh baya yang membawa plastik hitam. "Kalau rumah Bu Raya di mana, ya? Nomor 34, RT 13."

"Oh, ibunya Kayla?" tanya perempuan itu. "Adik lurus aja, nanti ada warung di sebelah kiri jalan, terus masuk ke gang di sampingnya. Dari situ kelihatan kok, rumah kontrakannya paling ujung."

Liv tersenyum tipis dan mengucapkan terima kasih. Jantungnya berdebar semakin keras tatkala benaknya menyadari bahwa dirinya semakin dekat dengan jawaban yang dia cari.

"Ini warung," gumam Liv dengan kaki yang terus melangkah. "Berarti gang ini, ya?"

Langit tetap tidak membuka suara, hanya terus mengikuti langkah cewek di sisinya. Gang yang mereka masuki sangat sempit, mungkin hanya cukup untuk dilalui satu motor. Begitu gang terlalui, mereka berdua berhenti. Di hadapan mereka terdapat empat pintu berwarna hijau. Terlihat seperti rumah kontrak tiga petak.

Saat mereka masih terdiam, satu dari empat pintu itu terbuka. Tepat yang berada di ujung. Menampilkan sosok seorang perempuan bertubuh kurus dengan tangan membawa ember besar berisi pakaian basah.

Karena Liv masih tidak bergerak, akhirnya Langit menarik tangan cewek itu dan menghampiri perempuan yang kini sedang menjemur pakaian di depan rumahnya.

"Permisi," sapa Langit.

Perempuan itu menoleh. Kedua matanya terbelalak ketika menatap Liv. Bisa dipastikan, perempuan itu tahu siapa Liv.

"Benar ini rumah Bu Raya?" tanya Langit. Begitu perempuan di hadapannya mengangguk, cowok itu melanjutkan, "Saya Langit dan ini teman saya, Livia."

Liv masih tidak bergerak. Matanya lurus tertuju pada perempuan bertubuh kurus itu. Meski penampilannya sangat sederhana dan wajahnya bersih dari riasan, Liv bisa melihat bahwa perempuan itu cantik. Bukan dengan jenis kecantikan seperti yang dimiliki ibunya, tetapi ... entahlah. Liv bahkan tidak bisa menjelaskan.

"Boleh kami masuk?" tanya Langit lagi.

"Oh, iya," jawab Raya gugup. "Silakan. Maaf, rumahnya sempit."

Langit melepas sepatunya, kemudian mengikuti langkah perempuan itu. Sementara Liv masih membeku.

"Livia?" panggil Langit dari ambang pintu.

Tersentak, Liv pun melepas sepatunya dan berjalan pelan. Begitu melewati pintu, Liv disuguhkan pemandangan ruang tamu yang dindingnya dipenuhi berbagai foto. Benar-benar kecil, bahkan tidak sampai setengah dari kamar Liv dan jelas tidak memiliki kursi atau meja. Meskipun tidak memiliki banyak ruang, dari tampilan luarnya pun terlihat sedikit kumuh, rumah kontrak itu sangat bersih di dalam.

Sementara Liv duduk di samping Langit, Raya bergegas masuk ke dalam dan detik berikutnya denting gelas terdengar. Tak lama, dia kembali muncul, kini dengan tangan membawa nampan.

"Ini, minum dulu," ucap Raya seraya meletakkan dua gelas teh di depan dua anak berseragam SMA yang duduk melantai di ruang tamunya.

Langit menggumamkan terima kasih, tetapi Liv masih diam dengan mata tertuju pada foto-foto yang memenuhi dinding. Seluruh foto itu berpusat pada Kayla, mulai dari bayi hingga mengenakan seragam putih biru. Dada Liv terasa sesak begitu melihat betapa banyak wajah ayahnya yang tersenyum di antara foto-foto itu.

Mungkin, seharusnya Liv tidak perlu mencari tahu.

Karena kini, hatinya hanya semakin hancur.

***

If I were YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang