11. Lebih Menyakitkan

72 18 1
                                    

Halo! Sori banget aku jadi belang-belang update-nya. Kesibukan di dunia nyata bikin aku kadang lupa total soal novel ini. Semoga kalian masih sabar menanti kisah Liv dan Langit 💙

***

Liv memasuki rumahnya dengan langkah berat. Begitu berat, hingga selama beberapa detik dia mempertimbangkan sebuah pilihan lain.

Melarikan diri.

Terlebih saat dilihatnya mobil sang ayah sudah terparkir di carport. Padahal biasanya hal itu akan membuat Liv bersemangat dan mempercepat langkah untuk memasuki rumah, tak sabar bertemu dengan Ayah dan bertukar cerita. Namun, hari ini dia hanya ingin pergi, enggan menemui orang yang sangat dia sayangi itu. Meski pada akhirnya Liv memilih untuk terus berjalan. Berusaha mematikan hatinya yang terus menjerit. Mengabaikan benaknya yang memberikan berbagai skenario mengerikan.

"Sunshine...."

Panggilan itu menyambut Liv begitu dia membuka pintu rumahnya. Julian berdiri di ruang tamu. Ekspresi wajahnya kalut. Setelah melihat Liv, pria itu langsung menghampiri dengan kedua tangan terulur. Namun, sebelum Julian sempat menyentuhnya, Liv mengambil satu langkah mundur.

Julian membeku. "Sunshine—"

"Sejak kapan?" sela Liv. Matanya menatap Ayah nanar.

"Apa?"

"Sejak kapan Ayah bohong?" tanya Liv. "Sejak kapan Ayah ... berbagi?"

Julian menggeleng. "Ini nggak seperti yang kamu kira—"

"Apa Ibu tahu?" sela Liv lagi. Nada terluka semakin jelas terdengar dalam suaranya.

"Sunshine, kasih Ayah kesempatan buat bicara," jawab Julian.

Betapa Liv ingin membawa dirinya lari dari tempatnya berdiri. Liv takut, sungguh takut. Hatinya sudah terluka dalam, tanpa memerlukan tikaman tambahan. Namun, ucapan Langit kembali terputar dalam benaknya.

Gue bakal dengar penjelasannya. Entah setelah itu gue bakal makin terluka atau justru lega, seenggaknya gue tahu. Gue nggak akan bertanya-tanya seumur hidup. Dan, mungkin, gue bisa ngelanjutin hidup tanpa rasa sakit itu lagi....

Liv menarik napas dalam-dalam. Cewek itu berjalan menuju ruang tamu, lalu duduk di sofa. Dia masih menolak untuk menatap Ayah secara langsung. Ada selaput bening yang mulai membayangi matanya dan Liv tidak ingin terlihat lemah.

"Tolong jelasin," pinta Liv lirih.

Julian duduk di samping anak bungsunya. Kedua tangannya terkepal, lalu kalimat demi kalimat meluncur dari bibirnya.

"Namanya Kayla," ucap Julian. "Dia anak dari ... teman lama Ayah. Kami ketemu lagi secara nggak sengaja satu tahun yang lalu, waktu teman Ayah—ibu Kayla—melamar pekerjaan di pabrik. Hidup mereka nggak seberuntung kita, Sunshine. Kayla bahkan sudah nggak ketemu ayah kandungnya selama bertahun-tahun. Karena itu, Ayah bantu mereka. Ibu kamu tahu beberapa bulan yang lalu. Dia nggak pernah ngasih Ayah kesempatan buat menjelaskan dan itu sebabnya kami selalu berdebat setiap kali bertemu. Ibu kamu marah."

Julian menarik napas dalam, sebelum melanjutkan, "Kamu harus percaya, Ayah nggak pernah mengkhianati Ibu. Mungkin kamu sudah tahu, cuma kamu dan Indra yang selama ini berhasil membuat kami bertahan. Tapi, Ayah nggak akan pernah melakukan hal jahat seperti berkhianat. Ayah nggak akan pernah sanggup melukai kamu, Sunshine."

"Kemarin Ayah ke mana?" tanya Liv. "Ayah lupa sama janji kita. Aku nunggu Ayah selama dua jam, tapi Ayah nggak datang. Bahkan waktu aku telepon, Ayah nggak ngasih aku kesempatan buat ngomong. Ayah ke mana?"

Wajah Julian diliputi kepanikan sesaat. Dia berdeham, mencoba menjelaskan.

"Kemarin—"

"Ayah pergi sama anak itu, kan?" potong Liv. "Gimana dengan sebelumnya? Waktu Ayah berantem sama Ibu dan nggak pulang, Ayah pergi ke mana? Ke rumah anak itu, kan?"

"Livia, dengar," ujar ayahnya tegas. "Kamu harus percaya. Ayah nggak pernah mengkhianati ibu kamu, apalagi keluarga kita. Cuma kamu dan Indra anak Ayah. Cuma kalian yang terpenting. Ayah nggak pernah membicarakan hal ini sebelumnya karena Ayah takut kamu merasa sakit—"

"Tapi nyatanya Ayah tetap nyakitin aku," sela Liv lirih. "Ayah bohong. Ayah ... tanpa sadar Ayah sudah berbagi. Benar, kan? Aku dengar dia panggil Ayah apa tadi siang. Aku dengar. Ayah pikir, gimana perasaan aku setelah tahu Ayah yang selama ini aku sayang ternyata punya anak lain?"

"Kayla bukan—"

"Apa Ayah nggak ngerti?" sela Liv penuh luka. Kepalanya menoleh untuk menatap ayahnya. "Entah dia anak kandung Ayah atau bukan, di dalam hidupnya, Ayah adalah orang tuanya. Bukan cuma aku dan Indra yang manggil Ayah dengan sebutan itu di dunia ini. Dan, Ayah nutupin semuanya. Ayah bohong. Kalau Ayah nggak ngerasa bersalah, buat apa Ayah bohong?"

Setetes air mata mengaliri wajah Liv. Hatinya masih terluka, mengalirkan rasa sakit yang begitu kental. Penjelasan ayahnya hanya semakin menambah rasa sesak dalam dada. Namun, mengapa? Mengapa semuanya menjadi lebih menyakitkan?

"Livia, kamu harus percaya sama Ayah," ucap Julian sungguh-sungguh. "Ayah nggak pernah berkhianat. Ayah cuma bantu teman lama, yang kebetulan punya anak. Ayah nggak pernah berpikir tentang hal lain. Cuma kamu anak perempuan Ayah. Anak yang paling Ayah sayang. Kamu matahari Ayah...."

Liv menelan isaknya, lalu bangkit berdiri.

"Aku nggak akan bilang soal ini ke Ibu, ataupun Adra." Liv berkata tanpa memandang ayahnya. "Aku mau istirahat."

Tanpa menunggu jawaban sang ayah, Liv pergi meninggalkan ruang tamu. Air matanya mengalir deras. Isaknya hampir tidak terbendung. Namun, Liv berhasil menahan dirinya hingga masuk ke kamar. Setelah pintunya tertutup sempurna, dia membiarkan tubuhnya luruh ke lantai dengan isak menggetarkan. Cewek itu membiarkan rasa sakit menggerogoti setiap bagian dalam hatinya.

Liv menyerah. Dia lelah bersandiwara. Pada kenyataannya, dia sungguh lemah.

Akhirnya Liv menemukan jawaban itu. Jawaban atas pertanyaan, mengapa semuanya menjadi lebih menyakitkan?

Karena Liv tidak bisa memercayai ayahnya.

Tidak lagi.

***

If I were YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang