17. Seandainya

98 16 0
                                        

"Kenapa Indra bisa begini?"

Gumaman cemas penuh penyesalan dari ayah Liv disambut kalimat bernada tajam oleh ibunya.

"Kamu tanya kenapa? Sudah jelas karena kamu terlalu sibuk main rumah-rumahan sama selingkuhan kamu itu! Kamu bahkan nggak pulang selama beberapa hari terakhir! Semua ini bisa terjadi karena kamu! Semua ini salah kamu! Salah kamu!"

"Terus kamu nggak bersalah?" balas Julian. "Kamu juga selalu sibuk! Acara kantor, kumpul sama teman.... Kapan kamu pernah punya waktu buat anak-anak kamu? Yang kamu pedulikan cuma pekerjaan dan uang!"

Nida kini berdiri tepat di hadapan ayah Liv yang masih duduk, lalu berkata, "Apa pernah sekali aja kamu mikir, bahwa aku cari segudang kesibukan di luar karena kamu nggak bisa ngasih kebahagiaan buat aku di rumah? Sekarang, kamu bahkan nggak bantah lagi soal perselingkuhan kamu. Kenapa? Apa karena Armitha sudah setuju?"

Mendengar namanya disebut, Liv mendongak. Membiarkan wajahnya yang dibasahi air mata terlihat oleh kedua orang tuanya. Sejak melarikan Indra ke rumah sakit beberapa jam yang lalu, Liv memang tidak bergerak dari tempatnya duduk di ruang tunggu. Diaz yang menemaninya pulang ketika orang tua Liv datang. Cewek itu tetap diam, tidak membuka mulut. Rasa bersalah karena tidak memberi tahu orang tuanya lebih awal tentang kondisi kakaknya terus menggerogoti tanpa ampun. Liv berharap orang tuanya akan bersatu pada saat-saat genting seperti ini, memberi kekuatan untuknya juga kakaknya yang sedang meregang nyawa.

Namun, yang terjadi adalah orang tuanya sibuk saling menyalahkan. Sama sekali tidak peduli padanya.

Tanpa mengatakan apa pun, Liv bangkit berdiri dan berjalan menjauh. Kedua orang tuanya masih sibuk berdebat di belakang. Dia tidak benar-benar memperhatikan ke mana tujuannya, hanya tahu bahwa setelah berbelok, ada lorong sepi tanpa penghuni. Liv bersandar pada dinding dan menjatuhkan dirinya pada lantai yang dingin.

Tangis yang lebih menyesakkan berhasil merobek keheningan semu yang dibangun Liv. Cewek itu menutup wajah dan menangis sekeras dirinya mampu menangis. Membiarkan isak memenuhi setiap rongga tersisa dalam dadanya. Karena dia sudah tidak mampu menanggungnya. Dia memang berjanji untuk berusaha menghadapi masalahnya dan berhenti lari, tetapi dia tidak sanggup.

Rasanya terlalu berat. Dan, dia lelah.

Seseorang menghentikan langkah di depannya. Liv mengabaikan karena dia sudah tidak peduli pada tanggapan orang lain. Bahkan jika orang itu salah satu petugas rumah sakit yang akan memintanya untuk pindah, Liv tidak akan peduli. Perkiraannya salah karena orang itu justru ikut duduk di sampingnya. Tanpa kata, hanya terus bersamanya.

Perlahan, Liv mengangkat wajah. Air mata masih mengalir, sementara dia menoleh, berusaha mengenali orang yang kini duduk di sisinya.

Langit.

Tangis Liv kembali pecah. Entah mengapa, mengetahui ada orang yang bersedia menemaninya, justru membuat dia merasa semakin sedih. Dia bisa merasakan satu tangan Langit menyentuh kepalanya, membawanya pada bahu cowok itu. Maka, di sanalah Liv menumpahkan segala beban.

Pada seseorang yang baru memasuki hidupnya, tetapi telah memahaminya lebih dari siapa pun di dunia ini.

***

Lampu taman bersinar di tengah hamparan langit malam. Beberapa orang duduk tak jauh dari Liv, sementara ada lebih banyak yang berlalu-lalang dengan kegiatan masing-masing.

"Ini," ucap Langit dengan satu tangan mengulurkan gelas berisi minuman berwarna cokelat. "Susu biasa, di kantin adanya cuma itu dan kopi."

"Thanks," sahut Liv pelan.

Mereka berdua duduk tanpa suara selama beberapa saat. Membiarkan suara-suara dari sekitar mengisi kesunyian. Liv menyesap susu cokelatnya, lalu menghela napas.

"Lo mau pulang?" tanya Langit.

Kepala Liv segera menggeleng. "Gue harus ada di sini. Buat kakak gue."

"Gimana keadaannya?" balas Langit.

Kali ini, helaan napas Liv terdengar lebih berat. "Sampai terakhir gue di sana, belum ada kabar. Nggak tahu sekarang."

"Kenapa lo pergi?"

Akhirnya, pertanyaan itu tersuarakan. Pertanyaan yang masih tidak Liv tahu bagaimana cara menjawabnya. Dia memang egois, hanya terus berlari dari masalahnya. Namun, di hadapan Langit, dia tidak berani mengakuinya.

Liv menoleh pada cowok di sisinya, lalu bertanya, "Lo pernah mikir, gimana hidup lo seandainya dulu orang tua lo nggak cerai?"

Langit menyandarkan tubuhnya pada kursi, menjawab tanpa menatap Liv. Satu sisi wajahnya yang terlihat oleh Liv tidak memberikan ekspresi apa pun. Hanya mata gelapnya yang terlihat menerawang, seakan mengenang sesuatu dari masa lalu.

"Sering," jawab Langit. "Gue sering mikir, seandainya orang tua gue berhenti ribut. Seandainya mereka nggak terlalu egois. Juga seandainya mereka punya rasa peduli sedikit aja buat anak-anaknya, mungkin semuanya bakal beda."

Liv mematung. Dia merasa yakin Langit menyebut "anak-anaknya" dan bukan hanya "anaknya". Jika benar begitu, berarti....

"Lo punya saudara?" tanya Liv hati-hati.

Kali ini tidak ada jawaban. Tubuh Langit seakan membeku.

Liv langsung mengenyahkan keinginan dalam hatinya untuk menuntut jawaban, karena tidak peduli betapa rasa penasaran mengusiknya, dia tidak akan memaksa Langit.

"Maaf," ucap Liv cepat. "Lo nggak perlu jawab."

Keheningan kembali menyusup di antara mereka. Bersama hening itu, Liv benar-benar mengerti tentang segala hal yang pernah dituturkan Langit. Tentang pertanyaan yang hanya bisa dijawab dirinya sendiri, sampai pengandaian-pengandaian itu.

Ponsel Langit berdering, memecah kebekuan mereka. Cowok itu segera menerima panggilan ketika melihat nama omanya yang tercantum, menjawab singkat bahwa dia akan segera pulang. Langit pun pamit.

"Makasih buat hari ini," kata Liv seraya bangkit berdiri. "Gue masuk dulu. Lo hati-hati pulangnya."

Langit ikut meninggalkan kursi yang sebelumnya mereka duduki, memberi satu anggukan. Dia tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi urung disuarakan entah atas alasan apa. Sekali lagi, Liv tidak ingin memaksa. Cewek itu melambai singkat sebelum membalikkan tubuh dan berjalan menuju pintu kaca rumah sakit.

Ketika Liv menoleh ke belakang, Langit masih berdiri di tempat. Wajah cowok itu dihiasi alis tebal juga sepasang bibir penuh yang tidak pernah tersenyum, dan malam itu rautnya terlihat lebih kelam. Seakan ada sesuatu dalam pikirannya yang menyerap segala cahaya dari sekitarnya.

Liv hendak kembali untuk menghampiri Langit, tetapi sebelum dia sempat melakukannya, sebuah suara berseru memanggil namanya.

"Livia!"

Cewek itu menoleh, berhadapan dengan ayahnya yang segera membawanya ke dalam dekapan.

"Kamu ke mana? Ayah khawatir," ucap Julian dengan kedua tangan tetap memeluk Liv erat. "Jangan pergi begitu aja seperti tadi. Ayah panik nyari kamu. Apa pun masalahnya, kita hadapi sama-sama. Ayah sayang sama kamu dan akan selalu begitu. Kamu matahari Ayah. Kamu ngerti?"

Liv tidak menjawab, pun tidak membalas pelukan ayahnya. Hingga sebuah kalimat terdengar.

"Maaf, Sunshine. Maafkan Ayah.... Ayah akan berusaha memperbaiki semuanya. Kita berusaha sama-sama, ya."

Pertahanan yang susah payah Liv bangun, kembali runtuh. Meski kali ini, seluruh rasa sakit juga penyesalan dia rengkuh tanpa ragu. Karena Liv sudah memutuskan untuk benar-benar berhenti melarikan diri.

Pertanyaan itu akan dia cari jawabannya.

***

If I were YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang