15. Bolos

75 16 0
                                    

Begitu memasuki kawasan Ancol, ponsel Liv berdering. Cewek itu mendesah, lalu menerima panggilannya.

"Halo."

"Lo di mana Liv?" sahut Diaz di ujung sambungan. "Gue sampai di kelas dan lo nggak ada!"

Liv menjawab, "Gue pikir lo nggak masuk."

"Terus kalau gue nggak masuk, lo otomatis bolos, gitu?"

Kali ini Liv memilih diam.

"Liv, lo kenapa? Sebenarnya ada apa? Lo di mana sekarang?" tuntut Diaz.

"Gue nggak apa-apa. Lo nggak perlu khawatir." Liv melirik seseorang di sampingnya yang setia menemaninya tanpa alasan, lalu melanjutkan, "Gue serius, Di, lo nggak perlu khawatir. Gue cuma ... butuh piknik. Iya, butuh piknik. Habis itu, gue pasti semangat lagi."

Terdengar helaan napas panjang, sebelum Diaz membalas, "Kabarin gue begitu lo jalan pulang nanti."

Liv mengiakan, kemudian memutus sambungan dan mematikan ponsel. Beberapa detik setelahnya, Langit memarkirkan mobil di depan Dunia Fantasi, tetapi Liv menolak. Tempat itu sarat akan kenangan bersama ayahnya dan saat ini, Liv membenci apa pun yang berhubungan dengan ayahnya.

"Ke tempat lain. Gue nggak mau ke sini," ucap cewek itu dingin.

Maka Langit kembali mengemudikan mobil menuju tempat lain. Kali ini Sea World. Ketika tak mendengar protes, barulah cowok itu mematikan mesin dan melepas sabuk pengaman. Mereka berjalan menuju loket untuk membeli tiket. Liv mengeluarkan uang untuk membayar dua tiket, yang dikembalikan Langit setengahnya. Mereka tetap tidak saling bicara, yang anehnya terasa menenangkan.

Sepanjang perjalanan menuju gerbang masuk Sea World yang di kiri dan kanan jalan dipenuhi tumbuhan, Liv membiarkan benaknya berkelana. Dia tidak tahu mengapa sesaknya masih ada, lebih tidak tahu mengapa hidupnya terasa gelap. Liv berusaha mengerti, tetapi rasa kecewanya justru terasa semakin menggerogoti.

Bagaimana caranya memaafkan? tanya Liv dalam hati. Atau memang sebenarnya nggak ada yang perlu dimaafkan, tapi harus diterima apa adanya?

"Menurut jadwal, sekarang ada atraksi lumba-lumba." Langit mengarahkan mereka ke kiri dari arah masuk, sementara Liv hanya mengikuti dari belakang.

Sisa hari itu dilalui Liv dengan mengikuti setiap langkah Langit. Mereka tetap tidak banyak bicara. Hanya mendatangi satu per satu atraksi yang ada di sana. Melihat anjing laut, ikan-ikan menari di dalam akuarium raksasa, hingga menonton film 4D. Setelah semua mereka lakukan, Langit menawarkan makan siang.

"Lo mau makan di mana?" tanya Langit untuk kedua kalinya, karena cewek di sisinya masih menunduk menatap entah apa di bawah sana. "Livia?"

"Gue nggak lapar," jawab Liv pelan.

Langit lagi-lagi tidak memaksa. Mereka kembali ke mobil dan berkendara dalam keheningan. Ketika melewati laut, Liv menoleh.

"Boleh berhenti sebentar? Gue mau lihat laut," pintanya.

Langit menginjak rem, tetapi kedua tangannya justru memegang setir lebih erat dan ekspresi wajahnya berubah tegang. Liv yang tidak menyadari perubahan pada cowok di sisinya langsung membuka pintu dan keluar. Angin yang berembus menyambut, membuat Liv merasa sedikit lega. Saat Liv siap melangkah, akhirnya dia sadar Langit sama sekali tidak bergerak dari balik kemudi.

Dengan kening berkerut, Liv membuka pintu. "Langit, lo—"

"Gue tunggu di sini."

Kalimat itu disuarakan dengan begitu kaku dan dingin, menyentak Liv. Cewek itu tiba-tiba menyadari, Langit yang selama beberapa jam ini bersamanya dengan Langit yang kini berada di hadapannya seperti dua orang berbeda.

If I were YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang