29. Orang Masa Lalu

68 9 0
                                    

Pagi itu, baik Liv maupun Langit tidak memiliki acara seminar dan duduk menghadap laptop di ruang keluarga rumah Langit. Oma dan Opa yang juga berada di sana hanya menatap dua remaja—yang sesaat lagi beranjak dewasa—itu dengan senyum.

"Kenapa nunggu pengumuman PTN begini rasanya lebih deg-degan daripada waktu ketahuan nyontek, ya?" tanya Liv.

Langit berdecak. "Gue bahkan nggak akan nanya kenapa lo nekat nyontek."

Liv mencibir, lalu kembali fokus menatap layar yang kini sedang membuka laman milik Langit. Begitu deretan huruf muncul di layar, Liv memekik.

"Lo diterima! Langit, lo masuk UI!" seru Liv gembira.

Langit yang bahkan belum sempat membaca pengumuman itu mempercepat gerak matanya hingga sampai pada kata 'Diterima'. Oma sudah ada di sisinya dan memeluk cowok itu, sementara Opa tetap duduk di seberangnya dan mengacungkan dua ibu jari.

"Lo gimana?" tanya Langit pada cewek di sisinya yang tiba-tiba saja menjadi hening.

"Gue nggak diterima," jawab Liv lemah.

Langit meraih laptopnya dan benar, Liv tidak diterima oleh universitas tujuannya. Cowok itu sudah siap dengan segala ucapan penghiburan hingga kata-kata motivasi, tetapi Liv sudah kembali ceria.

"Bagus, deh," kata Liv dengan senyum lebar. "Gue juga nggak yakin otak gue kuat di PTN semacam itu. Mending swasta aja, katanya lebih santai."

Oma dan Opa tertawa, sementara Langit masih menatap kekasihnya lekat. Meski samar, dia tahu terselip rasa kecewa dalam diri Liv. Namun, Langit mengerti, Liv tidak ingin membuat siapa pun mengkhawatirkan dirinya. Sejak kedua orang tuanya resmi berpisah, Liv menjadi lebih bertanggung jawab. Sikapnya memang masih seperti biasa, tetapi Liv lebih memikirkan masa depannya. Terbukti pada seluruh acara seminar yang selama ini mereka lakukan. Bahkan tanpa upah sedikit pun, Liv tetap semangat.

Bel rumah berbunyi, membuat mereka semua tersentak. Opa berdiri lebih dulu dan segera berjalan ke pintu untuk membukanya. Langit mendengar suara-suara, lalu langkah kaki mendekat. Oma terkesiap, sebelum bangkit berdiri dengan tangan menutup mulut.

Liv yang tidak mengerti dengan perubahan signifikan di ruangan itu—sebelumnya hangat dan penuh tawa, kini seakan membeku—hanya bisa menatap Langit penuh tanya. Sayangnya, Langit seperti berubah menjadi patung. Matanya terfokus pada satu titik, tetap diam di tempatnya duduk, dan tidak menunjukkan ekspresi apa pun.

Langit terus melihat orang yang berdiri di sisi Opa, masih tidak memberikan reaksi. Karena dalam benaknya hanya ada satu fakta tak terelakkan. Fakta yang berada tepat di hadapannya.

Mamanya datang.

***

Halaman belakang yang kini ditumbuhi berbagai bunga menjadi saksi kebisuan Langit yang duduk bersama mamanya. Sejak sepuluh menit lalu, ibu dan anak itu sibuk dengan pikiran masing-masing, menolak untuk menatap satu sama lain.

"Gimana kabar kamu?" tanya mama Langit pelan.

"Baik," jawab Langit dingin. Ekspresi wajahnya tidak terbaca, meskipun hatinya bergejolak karena emosi yang sudah sekian lama dipendamnya.

"Maaf, Mama datang langsung ke sini. Mama ... nggak bisa nunggu lagi. Mama mau tahu keadaan kamu—"

"Aku masih hidup," sela Langit. "Oma juga pasti sudah bilang, kan? Jadi, langsung aja. Nggak perlu pakai basa-basi. Aku tahu Mama datang ke sini karena ada perlu sesuatu, bukan karena benar-benar peduli sama aku."

Mama Langit ternganga. Raut terluka jelas tampak pada wajahnya. "Langit, Mama peduli."

Langit menggeleng, tidak mau percaya.

If I were YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang