16. Berbagi

68 12 0
                                    

"Lo nggak perlu nganterin gue, cuma satu blok," kata Liv begitu mereka berdiri di sisi mobilnya.

Langit tidak memberi jawaban, justru mengulurkan tangannya untuk meminta kunci. Pada akhirnya Liv menyerah, meletakkan kunci di atas tangan Langit dan duduk di kursi penumpang. Yang tidak Langit katakan adalah dirinya cemas Liv akan memilih pergi ke tempat lain, alih-alih rumahnya sendiri.

"Seatbelt?" tanya Langit.

"Cuma satu blok!" Liv memprotes keras.

Langit menatap cewek di sisinya tanpa ragu, mengulang ucapannya menjadi sebuah perintah tegas. "Seatbelt, Livia."

Mengembuskan napas keras, cewek itu akhirnya menuruti permintaan Langit. Perjalanan mereka sungguh sangat singkat, tanpa suara, dan sesampainya mereka di depan gerbang rumah Liv, tak ada satu pun yang beranjak.

"Lo nggak mau turun?" tanya Langit akhirnya. Merasa semakin yakin bahwa kecurigaannya benar; Liv masih terus menghindar.

"Lo sendiri kenapa nggak turun?" balas cewek itu. Lebih untuk menutupi fakta bahwa dia takut masuk ke rumahnya. Liv tidak tahu bagaimana harus menghadapi masalahnya, terlalu bingung dengan segala konsep memahami dan memaafkan.

"Lo masih mau lari dari kenyataan?" tanya Langit kemudian.

Wajah Liv berubah, dia memandang sengit pada cowok di sisinya sebelum menjawab, "Kalau iya, kenapa? Mau ngatain gue bocah? Egois? Silakan. Lo nggak tahu rasanya jadi gue."

Kepala Langit memberikan sebuah anggukan, membuat emosi Liv sedikit mereda. Karenanya, cewek itu sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk pengakuan yang disuarakan Langit.

"Orang tua gue cerai waktu gue baru masuk SD."

Kalimat Langit menyentak Liv, membuat mata cewek itu terbelalak. Namun, yang ditatap sama sekali tidak membalas, tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri. Meski lampu jalan yang menembus kaca mobil tidak terang, Liv masih bisa melihat gurat lelah dalam wajah Langit. Seakan beban cowok itu sudah terlalu lama ditanggung. Dan, mungkin memang benar begitu adanya.

"Setelah mereka cerai, gue tinggal sama Oma dan Opa. Kalau boleh jujur, nggak banyak kenangan yang bisa gue ingat dari orang tua gue, kecuali suara teriakan mereka juga bantingan barang. Yah, sesekali mereka memang ngajak gue jalan-jalan, tapi jalan-jalan versi mereka selalu pakai debat. Makanya, di minggu-minggu pertama tinggal sama Oma dan Opa, gue ngerasa bingung. Kenapa Oma dan Opa nggak pernah ribut? Mereka justru suka dansa. Habis makan malam, waktu mereka pikir gue sudah tidur, mereka bakal dansa di ruang tamu pakai tape kebanggaan Opa," tutur Langit.

Liv tidak berani bersuara, tangannya bahkan saling menggenggam erat di atas pangkuan. Seluruh fokusnya tertuju pada Langit dan suara rendah cowok itu yang terdengar jauh.

"Di minggu-minggu pertama itu juga, gue dan...." Langit tercekat, lalu memejamkan mata sesaat. "Gue ngelancarin banyak aksi protes. Gue nggak mau sekolah, nggak mau makan, bikin teman gue nangis, dan entah kenakalan macam apa lagi. Gue berharap orang tua gue bakal datang. Gue nunggu mereka. Tapi, biarpun gue terus nunggu, terus ngerusak hidup gue sendiri, tetap nggak ada satu pun dari mereka yang peduli."

Liv merasakan dingin menjalari seluruh tubuhnya. Membayangkan Langit di usia yang masih sangat kecil, merasakan apa yang kini dia rasakan, sungguh menyakitkan.

"Gue nggak pernah ketemu sama orang tua gue, kecuali waktu sakit," lanjut Langit. "Itu pun cuma Nyokap yang datang, karena Oma dan Opa adalah orang tuanya, gue pikir dia ngerasa punya kewajiban buat nurutin perintah mereka. Lama-lama, gue maksa diri buat berhenti nunggu kedatangan Nyokap lagi. Susah, tapi gue bisa. Terus gue dengar bokap gue pindah ke Surabaya, nggak lama disusul Nyokap yang pindah ke Bandung. Dari situ, gue dan...."

If I were YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang